KATABURUH.com - Enam orang Karyawan menggugat PT. Harmoni Panca Utama (HPU) ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palangka Raya atas Pemutusan Hubangan Kerja (PHK) secara sepihak.
KATABURUH.com - Enam orang Karyawan menggugat PT. Harmoni Panca Utama (HPU) ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palangka Raya atas Pemutusan Hubangan Kerja (PHK) secara sepihak.
"Perkara
gugatan ini didaftarkan pada Pengadilan Negeri Palangka Raya 17 April 2020
dengan Nomor 8/Pdt. Sus. PHI/2020/PN PLK. Pada Senin 8 Juni 2020 memasuki
sidang pertama di Pengadialan Negeri Palangka Raya.,"ucapnya.
Keenam
Karyawan tesebut, yakni Sibram Malesi, Arif Fuan, Nurul Hadi, Sugi Maulana
Putra, Heriadi dan Charles yang sudah bekerja di PT. HPU yang bergerak di
bidang pertambangan batu bara di wilayah Murung Raya, Kalteng.
Timbulnya
perselisihan dalam perkara ini adalah karena, pada 20 Januari 2020, PT. HPU
melakukan PHK terhadap enam orang
Karyawan (penggugat) dengan alasan karena para penggugat melanggar ketentuan
pasal 45 ayat (4) huruf (d) angka (8) peraturan perusahaan PT. HPU tahun 2019
berdasarkan Medical Cek Up tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Tirta Medical
Center.
Menurut
Junaidi Lumban Gaol, Ketua Kordinator Daerah Kalimantan Tengah Serikat Buruh
Federasi Hukatan KSBSI didampingi Saniadinoor dan Nordiansyah pengurus DPC
Serikat Buruh Federasi Hukatan KSBSI Murung Raya menyebutkan, pada saat itu
penggugat tidak diberikan kesempatan untuk membela diri dari pihak perusahaan.
"Perusahaan
langsung memberikan Blanko pernyataan Karyawan PHK untuk ditandatangani, namun
enam orang karyawan tersebut tidak bersedia dan menolak untuk menandatangani
surat pernyataan PHK yang disodorkan oleh Perusahaan," kata Junaidi Lumban
Gaol, selaku kuasa hukum tergugat di Palangka Raya, Senin pagi 8 Juni 2020.
Kemudian
lanjut Junaidi, adapun alasan para karayawan yang di PHK menolak menandatangani
surat PHK dari Perusahaan tersebut, karena peraturan perusahaan telah habis
ketika keputusan PHK diterbitkan oleh perusahaan.
"Seharusnya
itu dilaporkan dahulu kepada kepolisian, karena ini menyangkut pidana. Nah,
bila terbukti bersalah menurut putusan pengadilan, barulah mereka bisa di
PHK," kata Junaidi.
Junaidi
menambahkan, para karyawan itu sudah bekerja di Perusahaan tersebut selama tiga
tahun, bahkan ada yang sembilan tahun. Namun, hanya lantaran tes urine terkait
Narkoba di internal Perusahaan kemudian hasilnya positif, lalu enam orang tersebut
di PHK Perusahaan.
Lagi
pula tambah Junaidi, hasil tes urine hanyalah bukti petunjuk. Dari hasil tes
urine tidak cukup bukti untuk menyatakan
seseorang positif penyalahgunaan obat terlarang. Banyak obat atau minuman yang
mempengaruhi urine yang belum dapat dipastikan penyalahgunaan psikotropika dan
zat adektiv, terkecuali tertangkap
tangan dan ditemukan barang bukti memiliki barang tersebut.
Kata Junaidi kepada media ini, terhadap karyawan yang melakukan pelanggaran peraturan perusahaan, maka berdasarkan pasal 161 UU No 13 tahun 2003, sebelum dilakukan PHK terhadap karyawan, perusahaan harus terlebih dahulu diberikan surat peringatan 1, 2 dan 3.
Sebelumnya,
pihaknya pernah melakukan mediasi antara kedua pihak pada Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Provinsi Kalteng pada tanggal 3 April 2020 lalu, dengan hasil
agar PT. HPU memperkerjakan kembali enam orang pekerjanya yang telah di PHK,
namun perusahaan tidak mengindahkan anjuran dari Dinas Tenaga Kerja.
"Untuk
itu, kami meminta majelis hakim menyatakan tidak sah dan batal demi hukum
terkait PHK terhadap enam orang karyawan PT. HPU, karena bertentangan dengan
Undang undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan," pungkas Junaidi
Lumban Gaol.(emca/jp) (jurnalispost.online)
Beri komentar