MASALAH DAN SOLUSI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL(1)

MASALAH DAN SOLUSI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL(1)

Opini

KATABURUH.com-Jakarta-Sistem penyelesaian perselisihan perburuhan atau hubungan industrial berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dengan mekanisme dan lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Pusat (P4D/P4P) dianggap tidak mampu mewujudkan penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil dan murah (CeTAM). Selain rumit, putusan P4D/P4P pun tidak bersifat final. Putusan P4D/P4P dapat digugat di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, lalu mengajukan upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA).

Atas alasan itu, muncul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) dengan cita-cita atau filosofi penyelesaian yang CeTAM, sebagaimana tertuang pada konsiderans (bagian menimbang) huruf b Undang-undang itu. Namun apa yang terjadi, faktanya bukan CeTAM, tapi sebaliknya: lama, tidak tepat, tidak adil dan mahal. Beberapa masalah utama yang membuat tidak CeTAM-nya penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dikemukakan, antara lain sebagaimana  berikut ini.

Pertama, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) hanya ada di Pengadilan Negeri (PN) yang terletak di ibukota Provinsi, kecuali PHI Gresik. Dapat dibayangkan buruh yang bekerja jauh dari ibukota Provinsi, seperti di Kabupaten Merauke tidak mungkin mengajukan gugatan ke PHI Jayapura. Merauke-Jayapura berjarak 664 KM Km. Buruh harus naik kapal laut atau pesawat lalu naik angkutan darat lagi. Diperkiran mulai pendaftaran gugatan, sidang-sidang sampai mendapat salinan putusan seorang buruh harus pergi-pulang sebanyak 14 (empat belas) kali. Berapa biaya transport, akomodasi dan konsumsi seorang buruh untuk 14 kali pergi-pulang dari Merauke ke Jayapura. Padahal yang digugat hanya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Solusinya adalah bentuk PHI pada setiap PN atau paling tidak dalam jarak 150-200 Km dari PHI/PN yang satu ke PN lainnya.

Kedua, hukum acara PHI sama dengan hukum acara perdata umum di PN, seperti  gugatan atas perkara tanah atau utang-piutang. Menyelesaikan 1 (satu) perkara wajib menghadiri persidangan sebanyak 8 (delapan) kali, mulai dari pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pengajuan alat bukti surat penggugat dan tergugat, pemeriksaan saksi dan/atau ahli penggugat dan/atau tergugat, kesimpulan penggugat dan tergugat, serta pengucapan putusan. Itu jika setiap kali persidangan hadir pihak lawan. Sering terjadi baru panggilan ke-2 atau bahkan sidang ke-3 pihak lawan hadir. Kemudian sidang replik atau duplik juga kadang pihak lawan tidak hadir karena berbagai alasan, seperti sakit atau belum siap. Ada juga karena alat bukti surat penggugat dan/atau tergugat banyak berakibat hakim memerintahkan kepada para pihak (penggugat dan tergugat) untuk pengajuan alat bukti surat 2 (dua) kali persidangan, pertama penggugat, dan setelah itu baru tergugat. Demikian juga pemeriksaan saksi dapat lebih 1 (satu) hari atau 1 (satu) kali persidangan, tergantung berapa orang jumlah saksi yang akan dihadirkan penggugat dan/atau tergugat. Jika ada 6 (enam) orang saksi/ahli (3 dari penggugat dan 3 dari tergugat) maka sidang pemeriksaan saksi atau ahli bisa sampai 3 (tiga) kali persidangan. Sehingga untuk menyelesaikan 1 (satu) perkara di PHI dapat 10 (sepuluh), 12 (dua belas), bahkan 14 (empat belas) kali persidangan. Inilah mekanisme PHI yang melelahkan dan biaya mahal bagi buruh. Solusiya adalah tiadakan replik jika eksepsi tidak ada. Juga duplik dan kesimpulan ditiadakan.

Ketiga, upaya hukum kasasi MA. Mahkamah Agung menangani seluruh upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara dari seluruh Indonesia. Sementara sumber daya manusia termasuk hakim MA terbatas. Akibatnya perkara menumpuk di MA, lama baru diputus. Salinan putusan juga lama dikirim ke pengadilan pengaju. Pada Website Informasi Perkara MA sudah terbaca perkara nomor sekian sudah diputus misalnya tanggal 4 Maret 2020 tapi sampai hari ini (3 Juli 2020) salinan perkara belum dikirim ke PHI pengaju permohonan kasasi. Bagi buruh yang tinggal di Jakarta mudah menjangkau MA untuk menelusuri perkaranya. Tapi bagi buruh yang tinggal jauh dari Jakarta, seperti di Aceh dan Papua bagaimana mungkin datang ke MA untuk menelusuri perkaranya dengan biaya mahal ? Jikapun dapat dijangkau tidak ada akses buruh mendapat jawaban dari MA sudah proses apa perkara itu. Solusiya adalah upaya hukum terhadap putusan PHI cukup upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi dan bersifat final. Upaya hukum kasasi ke MA ditiadakan.

Keempat, proses eksekusi atas putusan PHI yang berkekuatan hukum tetap (BHT) masih sama dengan proses eksekusi atas putusan PN atas perkara misalnya tanah dan utang piutang. Tidak ada waktu yang pasti kapan proses-proses eksekusi itu dilakukan. Solusinya, perlu diatur dalam UU PPHI setiap tahapan proses eksekusi diatur jangka waktunya sehingga ada kepastian waktu.

Kelima, hukum acara PHI yang terlalu folmil sama dengan hukum acara perdata umum tidak tepat bagi buruh. Buruh tidak cukup pengetahuan dan keterampilan membuat surat gugatan. Akibat terlalu formil sering gugatan buruh tidak dapat diterima atau niet onvankelijke verjklaard/NO. Solusinya, gugatan tidak bersyarat formil. Kalaupun bersyarat formil perlu dibuat proses dismissal seperti yang berlaku pada Pengadilan Tata Usaha Negara.

Keenam, banyak pengusaha tidak melaksananakan putusan secara sukarela, padahal perusahaan memiliki aset dan produksi besar, sedangakan nilai hak buruh dalam putusan, misalnya hak pesangon hanya Rp 100.000.000,-. Terhadap praktik seperti ini perlu dibuat aturan tentang lembaga Gijzeling atau penyanderaan, yaitu menahan sementara pihak yang kalah di lembaga pemasyarakatan atau di tempat tertentu dengan tujuan untuk memaksanya memenuhi putusan PHI.

Penulis : leh Harris Manalu, S.H.(2)

Ketua Lembaga Bantuan Hukum Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (LBH KSBSI).

 __________

(1) Masalah dan Solusi Peradilan Hubungan Industrial lebih lengkap dari artikel ini telah dipaparkan Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DEN KSBSI qq. Presiden Elly Rosita Silaban dan Sekretaris Jenderal Dedi Hardianto, S.H., dibantu Harris Manalu, S.H.) dihadapan peserta diskusi di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang Undang Sekretariat Jenderal DPR RI, 17 Juni 2020.

(2) Ketua Lembaga Bantuan Hukum Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (LBH KSBSI).


 



Komentar

Beri komentar