Atas alasan itu, muncul Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) dengan cita-cita
atau filosofi penyelesaian yang CeTAM,
sebagaimana tertuang pada konsiderans (bagian menimbang) huruf b Undang-undang
itu. Namun apa yang terjadi, faktanya bukan CeTAM,
tapi sebaliknya: lama, tidak tepat, tidak adil dan mahal. Beberapa masalah
utama yang membuat tidak CeTAM-nya
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dikemukakan, antara lain
sebagaimana berikut ini.
Pertama, Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI) hanya ada di Pengadilan Negeri (PN) yang terletak di ibukota
Provinsi, kecuali PHI Gresik. Dapat dibayangkan buruh yang bekerja jauh dari
ibukota Provinsi, seperti di Kabupaten Merauke tidak mungkin mengajukan gugatan
ke PHI Jayapura. Merauke-Jayapura berjarak
664 KM Km.
Buruh harus naik kapal laut atau pesawat lalu naik angkutan darat lagi.
Diperkiran mulai pendaftaran gugatan, sidang-sidang sampai mendapat salinan
putusan seorang buruh harus pergi-pulang sebanyak 14 (empat belas) kali. Berapa
biaya transport, akomodasi dan konsumsi seorang buruh untuk 14 kali
pergi-pulang dari Merauke ke Jayapura. Padahal yang digugat hanya Rp
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Solusinya adalah bentuk PHI pada setiap PN
atau paling tidak dalam jarak 150-200 Km dari PHI/PN yang satu ke PN lainnya.
Kedua, hukum acara PHI sama dengan hukum acara perdata umum di PN,
seperti gugatan atas perkara tanah atau
utang-piutang. Menyelesaikan 1 (satu) perkara wajib menghadiri persidangan
sebanyak 8 (delapan) kali, mulai dari pembacaan gugatan, jawaban tergugat,
replik penggugat, duplik tergugat, pengajuan alat bukti surat penggugat dan
tergugat, pemeriksaan saksi dan/atau ahli penggugat dan/atau tergugat,
kesimpulan penggugat dan tergugat, serta pengucapan putusan. Itu jika setiap
kali persidangan hadir pihak lawan. Sering terjadi baru panggilan ke-2 atau
bahkan sidang ke-3 pihak lawan hadir. Kemudian sidang replik atau duplik juga
kadang pihak lawan tidak hadir karena berbagai alasan, seperti sakit atau belum
siap. Ada juga karena alat bukti surat penggugat dan/atau tergugat banyak berakibat
hakim memerintahkan kepada para pihak (penggugat dan tergugat) untuk pengajuan
alat bukti surat 2 (dua) kali persidangan, pertama penggugat, dan setelah itu
baru tergugat. Demikian juga pemeriksaan saksi dapat lebih 1 (satu) hari atau 1
(satu) kali persidangan, tergantung berapa orang jumlah saksi yang akan
dihadirkan penggugat dan/atau tergugat. Jika ada 6 (enam) orang saksi/ahli (3
dari penggugat dan 3 dari tergugat) maka sidang pemeriksaan saksi atau ahli
bisa sampai 3 (tiga) kali persidangan. Sehingga untuk menyelesaikan 1 (satu)
perkara di PHI dapat 10 (sepuluh), 12 (dua belas), bahkan 14 (empat belas) kali
persidangan. Inilah mekanisme PHI yang melelahkan dan biaya mahal bagi buruh.
Solusiya adalah tiadakan replik jika eksepsi tidak ada. Juga duplik dan
kesimpulan ditiadakan.
Ketiga, upaya hukum kasasi MA.
Mahkamah Agung menangani seluruh upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali dari
Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata
Usaha Negara dari seluruh Indonesia. Sementara sumber daya manusia termasuk
hakim MA terbatas. Akibatnya perkara menumpuk di MA, lama baru diputus. Salinan
putusan juga lama dikirim ke pengadilan pengaju. Pada Website Informasi Perkara
MA sudah terbaca perkara nomor sekian sudah diputus misalnya tanggal 4 Maret
2020 tapi sampai hari ini (3 Juli 2020) salinan perkara belum dikirim ke PHI
pengaju permohonan kasasi. Bagi buruh yang tinggal di Jakarta mudah menjangkau
MA untuk menelusuri perkaranya. Tapi bagi buruh yang tinggal jauh dari Jakarta,
seperti di Aceh dan Papua bagaimana mungkin datang ke MA untuk menelusuri
perkaranya dengan biaya mahal ? Jikapun dapat dijangkau tidak ada akses buruh
mendapat jawaban dari MA sudah proses apa perkara itu. Solusiya adalah upaya
hukum terhadap putusan PHI cukup upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi dan
bersifat final. Upaya hukum kasasi ke MA ditiadakan.
Keempat, proses eksekusi atas putusan PHI yang berkekuatan hukum
tetap (BHT) masih sama dengan proses eksekusi atas putusan PN atas perkara
misalnya tanah dan utang piutang. Tidak ada waktu yang pasti kapan
proses-proses eksekusi itu dilakukan. Solusinya, perlu diatur dalam UU PPHI
setiap tahapan proses eksekusi diatur jangka waktunya sehingga ada kepastian
waktu.
Kelima, hukum acara PHI yang terlalu folmil sama dengan hukum acara
perdata umum tidak tepat bagi buruh. Buruh tidak cukup pengetahuan dan
keterampilan membuat surat gugatan. Akibat terlalu formil sering gugatan buruh
tidak dapat diterima atau niet
onvankelijke verjklaard/NO. Solusinya, gugatan tidak bersyarat formil.
Kalaupun bersyarat formil perlu dibuat proses dismissal seperti yang berlaku pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Keenam, banyak pengusaha tidak
melaksananakan putusan secara sukarela, padahal perusahaan memiliki aset dan
produksi besar, sedangakan nilai hak buruh dalam putusan, misalnya hak pesangon
hanya Rp 100.000.000,-. Terhadap praktik seperti ini perlu dibuat aturan
tentang lembaga Gijzeling atau
penyanderaan, yaitu menahan sementara pihak yang kalah di lembaga
pemasyarakatan atau di tempat tertentu dengan tujuan untuk memaksanya memenuhi
putusan PHI.
Penulis : leh Harris Manalu, S.H.(2)
__________
Beri komentar