Kasus ini mendapat sorotan tajam Kuasa
Hukum Pelapor Rizky Ayu Jessica, Kuasa Hukum Pelapor Martin Lukas Simanjuntak
dan Sabar Daniel Hutahaean.
Martin menilai ada sejumlah fakta yang
mengkhawatirkan dalam persidangan menjelang sidang putusan ini.
Martin menegaskan bahwa kasus ini bukan
hanya kasus penipuan semata (Pasal 378), namun lengkapnya adalah kasus dugaan
Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan serta Pemalsuan Surat (Pasal 263) yang
disertai dengan penggunaan surat izin usaha perdagangan (SIUP) yang diduga
Palsu yang merugikan kliennya Rizky Ayu Jessica selaku Pelapor.
Namun, ia menyayangkan sikap JPU.
Tuntutan JPU dinilai Kurang Optimal dengan hanya Menuntut Terdakwa dengan Pasal
378 (Penipuan) padahal Dalam Surat Dakwaan Terdapat Pasal 263 dengan ancaman
hukuman Pidana selama enam (6) tahun yaitu, menurut Martin terkait dugaan
Pemalsuan Surat, yang menurut Fakta Persidangan bahwa SIUP yang digunakan
merupakan siup abal-abal atau SIUP (diduga) Palsu.
Martin mengatakan, Terdakwa kasus dugaan
penipuan, penggelapan, dan pemalsuan terkait SIUP, Shirly Prima Gunawan
dituntut hukuman 2 tahun 6 bulan penjara.
"Menuntut terdakwa dengan amar
putusan selama dua tahun enam bulan," kata JPU Ibnu Suud saat membacakan
tuntutan di PN JakSel, dalam ruang sidang 06 Prof. Dr. Mr. R. Wirjono
Prodjodikoro pekan lalu, Selasa, 22 Agustus 2023.
Hakim ketua Samuel Ginting juga
membacakan tuntutan usai diberikan berkas tuntutan oleh JPU. Hakim ketua
mengatakan jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dengan menyatakan bersalah
yang pada pokoknya menuntut terdakwa melakukan tindak pidana penipuan.
"Terdakwa dituntut dua tahun enam
bulan dikurangi masa penahanan. Dibebani biaya perkara Rp2 ribu," ujar
Hakim ketua saat itu.
Pada sidang hari ini, Selasa (5
September 2023) dalam agenda Pledoi, Martin membantah pembelaan terdakwa Shirly
Prima Gunawan yang dalam pembelaannya membantah telah melakukan penipuan.
Shirly bahkan menyatakan bahwa ia adalah korban.
"Hari ini tanggal 5 September, dua
minggu pasca (sidang) tuntutan jaksa yang menuntut dengan pasal 378, bukan
dengan (pasal) 263. Padahal terdapat pembuktian yang cukup dalam hal SIUP yang
digunakan itu (diduga) bukan SIUP asli. Dan hari ini terdakwa melakukan nota
pembelaan atau Pledoi. Pledoi dia pribadi, atas pledoi yang disusun oleh Para
penasehat Hukum. Menurut ketentuan KUHP (Pidana) ini adalah suatu hal upaya
untuk membela diri. Terdakwa diberikan hak ingkar, jadi boleh dia membantah,
membantah dan membantah tidak akan dikenakan pasal 242 KHUP," kata Martin
saat ditemui Wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa
(5/9/2023).
Martin mengatakan, tadi bantahan
(terdakwa) adalah justru yang bersangkutan mengaku sebagai korban, tidak ada
niat jahat dan hanya ingin membantu saudari Fony Kurniadjaja (Saksi pelapor
dalam kasus ini) agar tidak terlilit dari utang.
"Bahkan katanya sudah mendapat izin
dari Hermes, toko tas itu untuk membuat SIUP," terang Martin.
"Toko mahal pasti sudah punya SIUP
kan? Terus buat apalagi dia (Terdakwa) buat SIUP..atas nama orang, gitu.
Sedangkan kami juga mendapatkan informasi bahwa pemilik toko tas itu juga
membantah, terkait adanya kepemilikan di luar dari pemilik sebenarnya."
tandasnya.
Lalu, lanjut Martin, pledoinya penasehat
hukum juga saya lihat sama. Dia menarik bahwa ini adalah perbuatan cidera janji
ataupun one prestasi.
"Tapi dalam tindak pidana itu yang
paling penting adalah unsur tindak pidana terpenuhi. Kalau dalam tuntutan 378
maka setiap unsur itu harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dengan JPU menuntut berarti sudah cukup pembuktiannya." kata dia.
"Tinggal Hakim melihat, ada nggak
keyakinan dia? Kalau dua alat bukti, saya pikir sudah cukup ya. Tapi yang saya
cukup khawatir disini hari ini Ketua Majelis Hakimnya, harusnya kan Pak Samuel
Ginting. tadi siang saya lihat beliau ada, tapi pada saat sore, mau sidang,
justru diganti sama yang lain, gitu ya. Ini nggak tau karena sakit, karena
dinas, atau karena apa?" terangnya.
"Ini yang sebenarnya saya khawatir,
manakala di sidang pertama di tanggal 21 Maret (2023), terdakwa ini tiba-tiba
jadi tahanan rumah..gitu. Sidang pertama yaa. Kalau sidang kedua, sidang ketiga
(jadi tahanan rumah? ini adalah sesuatu hal yang mengandung pemberlakuan
khusus, pada Terdakwa. Kapan surat itu dilayangkan? Kapan surat itu dikaji
dulu, Kok tiba-toba jadi tahanan rumah?" tanya Martin.
Karena keprihatinan itulah, Martin
mengungkap pihaknya sempat bersurat ke Bawas dan Komisi Yudisial (KY). Supaya,
ketika ada sesuatu hal yang mencurigakan atau ada indikasi mencurigakan, bisa
dipantau bersama-sama.
"Jangan sampai nanti ada
perbuatan-perbuatan yang sifatnya transaksional yang bisa saja berimplikasi
terhadap putusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa." urainya.
Dalam prakteknya nanti, Martin mengaku
khawatir kalau dari Mahkamah Agung (MA) dan juga Bawas MA dan KY tidak ikut
memantau, hanya kami saja yang memantau dengan rekan-rekan media, bisa terjadi
putusan yang tidak memberikan keadilan bagi Pelapor, Korban dan juga tindakan
preventif kepada Masyarakat supaya keadilan di atas, supaya keadilan serupa
tidak terulang lagi.
"Bisa saja putusannya ontslag? atau
lepas? Bisa saja putusannya nanti pidana percobaan? Kita nggak tau. Tapi apapun
itu, karena kami peduli, sebagai Kuasa Hukum Pelapor dan Korban dan kami juga
peduli kepada penegakkan hukum ke depan, yang berkeadilan, kami datang kesini
untuk memantau." tandas Martin.
Martin juga menyoroti JPU yang pada
sidang Pledoi ini sudah menyatakan tidak akan melakukan replik (jawaban atau
tanggapan JPU atas pembelaan (pledoi) Terdakwa. Martin menegaskan, manakala
hari ini tidak ada statement bahwa JPU akan melakukan replik, maka ia berharap
apa yang ia sampaikan tadi mengenai kekhawatiran itu, tidak terjadi.
"Karena indikasi-indikasinya
semakin kencang ini. Tapi sih itu, kekhawatiran. Mudah-mudahan tidak
terjadi." imbuhnya.
"Tapi kalau terjadi, ya kita selaku
Kuasa Hukum Pelapor dan Korban juga akan melakukan, menempuh upaya-upaya hukum
yang lain." tandasnya.
Oleh karena itu, Martin menegaskan, apa
pun itu putusan Hakim, Jaksa harus berani mengambil sikap apabila putusan
tersebut tidak mencerminkan atau pun memberikan kepastian hukum dan keadilan,
kemanfaatan bagi Pelapor dan juga Korban.
Diketahui, sidang akan kembali digelar
pada Selasa (26/9/2023) dengan agenda pembacaan putusan.
Martin menginformasikan, Rizky Ayu
Jessica (Pelapor) secara resmi melaporkan Shirly Prima Gunawan
(Terlapor/Terdakwa) ke Polda Metro Jaya atas Peristiwa yang terjadi pada sekira
Bulan Maret s.d Mei 2022 dengan tuduhan, Terdakwa diduga keras telah melakukan
Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan serta Pemalsuan Surat yang disertai
dengan penggunaan SIUP yang diduga palsu dengan tujuan agar Pelapor dan Korban
(Jimmy Budijanto) percaya dan seolah-olah benar bahwa Terlapor memiliki Toko
Tas Mewah yang berada di Mall Artha Gading, berdasarkan SIUP Kecil Nomor:
217/24.1PK/31.71.07/-1.824.27/e/2016 yang dimiliki oleh Terdakwa Shirly Prima
Gunawan.
Menurutnya, kasus ini berawal dari
adanya jaminan bisnis tas bermerek sebesar Rp18 miliar melalui surat pernyataan
utang yang akhirnya tidak terealisasikan pembayarannya. Terdakwa Shirly Prima
Gunawan memberikan bilyet giro atau giro kosong atau ditolak oleh otoritas
Bank.
Akibat tindakan terdakwa, korban
mengalami kerugian sebanyak 17 tas branded dengan merek Dior, Hermes, Chanel
dan lainnya sesuai yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Perkara
Pidana Nomor 136/Pid.B/2023/PN. JKT SEL. Perkara ini menyebabkan korban
mengalami kerugian secara materill dan imateriil.
Sementara itu, saat berita dirilis,
belum diperoleh penjelasan resmi dari Terdakwa maupun kuasa hukumnya soal kasus
dugaan penipuan ini. (*)
Beri komentar