Dengan ditolaknya gugatan tersebut, MK menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, yang disahkan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, “tetap memiliki kekuatan hukum mengikat”. Artinya, UU ini tetap berlaku.

Kelima gugatan uji formil tersebut pada dasarnya mempermasalahkan proses pembuatan UU 6/2023 yang dinilai cacat formil, tidak sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Salah satunya, karena tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna.

Namun, MK menilai dalil-dalil permohonan itu “tidak beralasan menurut hukum”.

MK juga menyatakan dapat memahami alasan “kegentingan mendesak” yang menjadi dasar pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja.

“Pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman.

Sejak pertama kali disahkan pada 2020 lalu, UU Cipta Kerja ditolak oleh berbagai serikat pekerja, akademisi, pegiat HAM, hingga mahasiswa.

Salah satu penggugat, Elly Rosita Silaban dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan putusan ini “sangat mengecewakan”.

Ketika hakim membaca pertimbangan-pertimbangannya dalam sidang pembacaan putusan, Elly mengaku “sudah bisa memprediksi” bahwa mereka akan kalah karena semua dalil-dalil gugatan dinilai “tidak beralasan”.

“Pada akhirnya, kami dari serikat buruh menilai bahwa MK ini sama lah, juru bicaranya pemerintah. Memang saat ini kami sudah kalah, kami akan melanjutkan ke gugatan materil. Itu saja yang akan kami persiapkan,” kata Elly kepada BBC News Indonesia.

Pembacaan gugatan ini juga diwarnai oleh aksi unjuk rasa sejumlah serikat pekerja di sekitar Gedung MK, Jakarta Pusat. Polisi mengerahkan lebih dari 6.000 personil untuk mengamankan aksi ini.

Mereka meneriakkan agar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 “dibatalkan”. UU ini dianggap telah “menindas hak-hak pekerja”.

Pada konferensi pers pada Jumat (29/09), Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan putusan MK ini akan menentukan nasib para pekerja ke depan.

“Tentu putusan ini akan berpengaruh sekali untuk jangka panjang 30 tahun bagi buruh Indonesia, petani, lingkungan hidup, pegiat HAM, dan kelompok-kelompok lainnya,” kata Presiden Partai Buruh, Said Iqbal.

Mengapa serikat-serikat pekerja menolak UU Cipta Kerja dan bagaimana putusan serta pertimbangan MK?

Berikut hal-hal yang perlu Anda ketahui terkait gugatan ini.

Bagaimana riwayat gugatan UU Cipta Kerja?

Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober 2020. Saat itu, pengesahan dari UU ini menuai penolakan luas dari masyarakat, mulai dari serikat buruh, aktivis HAM, hingga mahasiswa.

Penolakan itu kemudian berlanjut pada gugatan uji formil ke MK. Pada 25 November 2021, MK menyatakan UU Cipta Kerja sebagai “inkonstitusional bersyarat”.

MK memerintahkan pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka dua tahun sejak putusan dibacakan. Selama tenggang waktu itu, UU Cipta Kerja dinyatakan “masih tetap berlaku”.

Kemudian pada 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan alasan “kegentingan memaksa”.

Perppu itu lagi-lagi menuai penolakan dari berbagai kalangan.

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, pada saat itu mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa sikap pemerintah “tidak sesuai dengan perintah MK yang memerintahkan pemerintah serta DPR untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun sejak putusan dibacakan.”

Sementara itu, serikat buruh juga menilai substansi Perppu Cipta Kerja “masih merugikan posisi pekerja”.

Perppu itu kemudian digugat kembali oleh sejumlah serikat buruh ke MK. Di tengah proses gugatan yang belum selesai, DPR dan pemerintah justru mengesahkan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.

Dalam sidang paripurna yang digelar pada 21 Maret 2023, tujuh fraksi di DPR menyetujui pengesahan Perppu menjadi UU. Hanya dua fraksi yang menolak, yakni Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

UU 6/2023 inilah yang kemudian digugat kembali oleh sejumlah serikat buruh dan kalangan masyarakat sipil.

Bagaimna dalil gugatan?

Ada lima gugatan terhadap UU Cipta Kerja yang putusannya akan dibacakan oleh MK pada Senin (02/10) pukul 13.00 WIB.

Kelimanya terdaftar dengan nomor perkara 40/PUU-XXI/2023, nomor 41/PUU-XXI/2023, nomor 46/PUU-XXI/2023, nomor 50/PUU-XXI/2023, dan nomor 54/PUU-XXI/2023.

Dalam gugatan nomor 54 yang putusannya dibacakan pertama, pemohon yang terdiri dari 15 serikat pekerja menggungat pengesahan Perppu 2/2022 yang menjadi cikal bakal disahkannya UU 6/2023.

Perppu itu disahkan oleh Presiden Joko Widodo dengan alasan “kegentingan yang memaksa”. Namun menurut para pemohon, lahirnya Perppu tersebut melanggar prinsip tersebut.

Mereka juga menilai bahwa proses pembentukan UU 6/2023 “executive heavy dan otoriter”.

Dalam permohonan gugatannya, mereka meminta MK menyatakan UU 6/2023 tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945.

Mereka juga meminta MK memberlakukan kembali UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan memperhatikan putusan MK sebelumnya, yang mana UU itu telah dinyatakan “inkonstitusional bersyarat”.

Sementara itu, dalam gugatan nomor 41, Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto dari KSBSI menilai bahwa UU 6/2023 “mengandung cacat formil atau cacat konstitusi”.

KSBSI juga menilai pengesahan Perppu menjadi UU tersebut “bertentangan dengan putusan MK sebelumnya”, yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Menurut Elly, putusan MK itu semestinya ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan memperbaiki UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dengan “melibatkan partisipasi dari pihak-pihak yang berkepentingan”.

Namun hingga Perppu diterbitkan dan disahkan menjadi UU, KSBSI merasa tidak ada partisipasi yang bermakna tersebut.

“Kami tidak pernah secara khusus diajak pemerintah untuk membicarakan ini, tapi dengan mengundang serikat pekerja di daerah untuk sosialisasi pernah meskipun bermasalah,” kata Elly.

Sampai saat ini, Elly mengatakan mayoritas substansi yang ditolak oleh para pekerja “masih belum berubah”.

Apa pertimbangan MK?

Dalam pertimbangannya, hakim MK menilai Perppu Cipta Kerja karena situasi perang di Ukraina “bisa dipahami sebagai kegentingan yang memaksa”. Ditambah lagi dengan situasi ekonomi yang baru dihantam oleh pandemi Covid-19.

MK menilai dalil gugatan soal “kegentingan yang memaksa itu” tidak terpenuhi. Sebagai konsekuensi dari kegentingan itu, penetapan Perppu dalam proses persetujuan di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna.

Hakim berpendapat persetujuan DPR sejatinya merupakan representasi dari masyarakat.

Dari sembilan hakim yang memutus perkara ini, terdapat empat hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Keempat hakim itu yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.

Pasca-putusan ini, MK masih akan membacakan putusan dari empat gugatan uji formil lainnya terhadap UU Cipta Kerja.

Poin-poin apa saja yang ditolak serikat pekerja?

Ada sejumlah pasal yang dianggap “bermasalah” dalam Perppu yang disahkan menjadi UU ini.

Salah satunya pasal yang mengatur tentang tenaga kerja alih daya atau outsourcing ini kembali dihidupkan dalam Perppu Cipta Kerja dengan perubahan. Pasal ini berasal dari UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang kemudian dihapus dalam UU Cipta Kerja tahun 2020.

Dengan kata lain, dalam UU Cipta Kerja tahun 2020 setiap sektor pekerjaan bisa menggunakan tenaga alih daya. Tapi dengan Perppu terbaru ini, ada kemungkinan jenis-jenis pekerjaan tertentu saja yang boleh diisi tenaga alih daya.

Tapi pemerintah tidak secara rinci menjelaskan tentang “menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan”.

"Apakah ini maksudnya menjadi peraturan pemerintah akan dibatasi jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan alih daya, atau dia sedang mengatur pembicaran mekanisme alih daya, atau apa? Itu serba tidak jelas,” kata ahli hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati kepada BBC News Indonesia pada 4 Januari 2023.

Sementara itu, dalam konferensi pers yang digelar pada Jumat (29/09), Presiden Partai Buruh Said Iqbal memprotes pasal terkait pesangon, yang kemudian diatur melalui regulasi turunan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021.

Peraturan itu dia sebut “mempermudah PHK” karena pesangon yang diberikan kepada pekerja “jauh lebih kecil” dibanding ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan sebelumnya.

Di dalamnya terdapat klausul yang memungkinkan perusahaan membayarkan pesangon pekerja sebesar 0,5 kali dari yang seharusnya apabila perusahaan mem-PHK karyawan karena “mengalami kerugian”.

“Misal kalau saya masa kerja di atas delapan tahun, itu sembilan bulan upah. Kalau pakai aturan UU Ketenagakerjaan yang lama bisa 18 kali, bahkan bisa 27 kali. Kalau sekarang, karena aturan 0,5 kali, jadi 4,5 bulan upah. Kerja 10 tahun, 30 tahun, sama, 4,5 bulan upah,” kata Said Iqbal.

BBC News Indonesia juga pernah menerbitkan laporan soal bagaimana klausul itu meninggalkan celah hukum, hingga dijadikan “dalih” perusahaan untuk membayar pesangon yang kepada pekerja yang di-PHK seminimal mungkin.

Ada pula kontroversi terkait penetapan upah minimum. Di dalam pasal 88 Perppu Cipta Kerja, pemerintah menambahkan frasa “indeks tertentu” sebagai formula penghitungan upah selain pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Frasa itu dinilai “menimbulkan ketidakpastian hukum”oleh serikat pekerja. Variabel ini juga ditolak oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) karena dikhawatirkan akan “memberatkan dunia usaha”.

 Sementara itu, Nabiyla memandang "indeks tertentu” ini justru memberikan kesempatan kepada dewan pengupahan untuk melakukan negosiasi dalam penentuan upah minimum.

Selain itu, pemerintah juga menambahkan pasal 88F yang benar-benar baru, di mana besaran upah buruh yang ditetapkan tiap tahun bisa suatu saat secara absolut ditentukan pemerintah pusat.

"Jadi yang punya kuasa besar itu adalah pemerintah pusat. Jadi kesannya sangat sentralisasi, jadi kayak apa pun yang nanti terjadi yang mengetok palu terakhir itu adalah pemerintah pusat,” kata Nabiyla. Sumber: BBC News Indonesia.

 

 

 



Komentar

Beri komentar