Hadapi KSBSI Perkara 103, Kuasa Presiden Hadirkan Prof Romli Atmasasmita

Prof. Dr. Romli Atmasasmita SH LL.M dalam persidangan uji formil UU Cipta Kerja. Keterangan Ahli-nya ditujukan untuk Perkara nomor 103 yang diajukan oleh KSBSI. (Foto: Capture sidang MK)

Hadapi KSBSI Perkara 103, Kuasa Presiden Hadirkan Prof Romli Atmasasmita

Nasional

Saat ini, Ia aktif mengajar di beberapa Universitas di Indonesia. Namun pada tahun 2009, Prof Romli sempat terlilit dalam kasus dugaan korupsi pada Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbankum).

KataBuruh.com, JAKARTA – Sidang Judicial Review Uji Formil UU nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara daring. Sidang hari ini, Kamis (9/9/2021) Majelis kembali menjadwalkan Kuasa Presiden Joko Widodo atau Kuasa Pemerintah untuk menghadirkan Ahli pada 3 perkara lanjutan.

Sebelumnya, pada sidang minggu lalu sudah 3 ahli yang dihadirkan Kuasa Presiden Jokowi untuk perkara 91, 105 dan 107. Untuk sidang hari ini, Ahli yang dihadirkan untuk perkara 103, 4 dan 6.

Pimpinan Majelis Hakim MK, Anwar Usman membuka persidangan, Ia menjelaskan, agenda hari ini mendengarkan keterangan Ahli dari Prof. Dr. Romli Atmasasmita SH LL.M, Turro Selrits Wongkaren SE MA. Ph.D dan Dr. Ahmad Redi SH MH.

Ahli pertama yang didengar di muka persidangan adalah Prof Romli. Keterangannya, menurut Pimpinan sidang adalah untuk perkara nomor 103 yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).

Ahli kedua adalah Turro Selrits Wongkaren SE MA Ph.D. Ahli yang meraih gelar Master of Art (in Economics) University of hawaii-Manoa ini ditujukan untuk perkara nomor 4.

Sedangkan Dr. Ahmad Redi SH MH atau yang dikenal dengan Ahmad Redi lahir 27 Februari 1985 adalah Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara dan Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute. Ia adalah Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Hukum Lingkungan dan Hukum Sumber Daya Alam. Keterangan Ahli-nya ditujukan untuk perkara nomor 6.

Diketahui, Prof Romli adalah seorang akademisi atau guru besar di bidang Ilmu Hukum khususnya Hukum Internasional di Universitas Padjadjaran. Ia sempat merasakan kursi birokrasi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Mengutip wikipedia disebutkan, Prof. Romli merupakan anggota Tim Perumus Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sempat Terjerat Kasus Dugaan Korupsi

Saat ini, Ia aktif mengajar di beberapa Universitas di Indonesia. Namun pada tahun 2009, Prof Romli sempat terlilit dalam kasus dugaan korupsi pada Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbankum).

Ia sempat dinyatakan bersalah pada kasus Sisminbankum ini yang juga melibatkan beberapa tokoh seperti Yusril Ihza Mahendra, Zulkarnain Yunus dan Syamsudin Manan Sinaga.

Oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 701/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 7 September 2009. Ia dipidana dua tahun penjara, denda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan serta mengganti kerugian negara sebesar US$ 2000 dan Rp 5 juta.

Di Tingkat Banding, dalam putusannya Nomor: 345/Pid/2009/PT. DKI Jakarta tanggal 20 Januari 2010, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan Putusan di tingkat Pertama, namun hukumannya dikurangi menjadi 1 tahun penjara.

Pada tingkat Kasasi, Prof. Romli Atmasasmita, dinyatakan lepas dari jeratan hukum dalam perkara korupsi Sisminbankum. Mahkamah Agung memutuskan Romli tidak dapat dihukum dalam kasus sisminbakum.

Ketua majelis kasasi perkara sisminbakum, Muhammad Taufik mengaku ada tiga alasan kenapa Romli tak bersalah. Pertama, Romli dinilai tidak mendapatkan keuntungan dalam Sisminbakum. Kedua, dari tindakan Romli, negara tidak dirugikan. Ketiga, pelayanan publik lewat Sisminbakum tetap berjalan.

Kasus Sisminbankum sendiri akhirnya dihentikan oleh Jaksa Agung Basrief Arief pada tahun 2012.

Pemohon perkara 103

Diketahui, Permohonan Perkara Nomor 103/ PUU-XVIII/2020 diajukan Elly Rosita Silaban (Pemohon I) dan Dedi Hardianto (Pemohon II) dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).

Para Pemohon menguji secara formil Bab IV UU No. 11/2020 dan pengujian materiil UU Bab IV UU Bagian Kedua No. 11/2020 yakni Pasal 42 ayat (3) huruf c, Tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.

 

Juga Pasal 57 ayat (1), Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Pasal 57 ayat (2), Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Pemohon perkara 4

Berikutnya, permohonan Nomor 4/PUU-XIX/2021 diajukan R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya. Permohonan ini memecahkan rekor sebagai permohonan dengan Pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian UU di MK.

Para Pemohon mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja. Secara formil, Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja melanggar ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sedangkan secara materiil, selain meminta MK menyatakan inkonstitusional ataupun inkonstusional bersyarat pada seluruh norma yang dipersoalkan, Pemohon juga meminta MK menyatakan sejumlah pasal dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itulah, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pemohon perkara 6

Sementara para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 Riden Hatam Aziz dkk melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kepastian hukum. Secara umum pembentukan UU a quo cacat secara formil atau cacat prosedur.

Problem konstitusionalitas tersebut terkait dengan tidak terpenuhinya syarat pemuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut dalam Prolegnas menurut ketentuan UU No. 12/2011, tidak dipedomaninya ketentuan mengenai teknik dan sistematika pembuatan undang-undang menurut ketentuan UU No. 12/2011, dan tidak dipenuhinya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut ketentuan UU No. 12/2011.

Bahwa dimuatnya RUU No. 11/2020 dalam Prolegnas tidak bisa didasari atas rencana pembangunan jangka menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf f UU No. 12/2011 sebab Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hanya dapat disusun untuk menjangkau periode waktu 5 (lima) tahun.  [REDHuge/KBB]



Komentar

Beri komentar