KataBuruh.com, JAKARTA – Sidang
Judicial Review Uji Formil UU nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja kembali
digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara daring. Sidang hari ini, Kamis
(9/9/2021) Majelis kembali menjadwalkan Kuasa Presiden Joko Widodo atau Kuasa
Pemerintah untuk menghadirkan Ahli pada 3 perkara lanjutan.
Sebelumnya, pada sidang minggu lalu
sudah 3 ahli yang dihadirkan Kuasa Presiden Jokowi untuk perkara 91, 105 dan
107. Untuk sidang hari ini, Ahli yang dihadirkan untuk perkara 103, 4 dan 6.
Pimpinan Majelis Hakim MK, Anwar Usman
membuka persidangan, Ia menjelaskan, agenda hari ini mendengarkan keterangan
Ahli dari Prof. Dr. Romli Atmasasmita SH LL.M, Turro Selrits Wongkaren SE MA.
Ph.D dan Dr. Ahmad Redi SH MH.
Ahli pertama yang didengar di muka
persidangan adalah Prof Romli. Keterangannya, menurut Pimpinan sidang adalah
untuk perkara nomor 103 yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh
Indonesia (KSBSI).
Ahli kedua adalah Turro Selrits
Wongkaren SE MA Ph.D. Ahli yang meraih gelar Master of Art (in Economics)
University of hawaii-Manoa ini ditujukan untuk perkara nomor 4.
Sedangkan Dr. Ahmad Redi SH MH atau
yang dikenal dengan Ahmad Redi lahir 27 Februari 1985 adalah Dosen dari
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara dan Direktur Eksekutif Kolegium Jurist
Institute. Ia adalah Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Hukum Lingkungan dan Hukum Sumber Daya Alam. Keterangan Ahli-nya
ditujukan untuk perkara nomor 6.
Diketahui, Prof Romli adalah seorang
akademisi atau guru besar di bidang Ilmu Hukum khususnya Hukum Internasional di
Universitas Padjadjaran. Ia sempat merasakan kursi birokrasi di Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Mengutip wikipedia disebutkan, Prof.
Romli merupakan anggota Tim Perumus Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sempat Terjerat Kasus Dugaan Korupsi
Saat ini, Ia aktif mengajar di
beberapa Universitas di Indonesia. Namun pada tahun 2009, Prof Romli sempat
terlilit dalam kasus dugaan korupsi pada Sistem Administrasi Badan Hukum
(Sisminbankum).
Ia sempat dinyatakan bersalah pada
kasus Sisminbankum ini yang juga melibatkan beberapa tokoh seperti Yusril Ihza
Mahendra, Zulkarnain Yunus dan Syamsudin Manan Sinaga.
Oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:
701/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 7 September 2009. Ia dipidana dua tahun
penjara, denda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan serta mengganti kerugian
negara sebesar US$ 2000 dan Rp 5 juta.
Di Tingkat Banding, dalam putusannya
Nomor: 345/Pid/2009/PT. DKI Jakarta tanggal 20 Januari 2010, Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta menguatkan Putusan di tingkat Pertama, namun hukumannya dikurangi
menjadi 1 tahun penjara.
Pada tingkat Kasasi, Prof. Romli Atmasasmita,
dinyatakan lepas dari jeratan hukum dalam perkara korupsi Sisminbankum.
Mahkamah Agung memutuskan Romli tidak dapat dihukum dalam kasus sisminbakum.
Ketua majelis kasasi perkara sisminbakum,
Muhammad Taufik mengaku ada tiga alasan kenapa Romli tak bersalah. Pertama,
Romli dinilai tidak mendapatkan keuntungan dalam Sisminbakum. Kedua, dari
tindakan Romli, negara tidak dirugikan. Ketiga, pelayanan publik lewat
Sisminbakum tetap berjalan.
Kasus Sisminbankum sendiri akhirnya
dihentikan oleh Jaksa Agung Basrief Arief pada tahun 2012.
Pemohon perkara 103
Diketahui, Permohonan Perkara Nomor
103/ PUU-XVIII/2020 diajukan Elly Rosita Silaban (Pemohon I) dan Dedi Hardianto
(Pemohon II) dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).
Para Pemohon menguji secara formil Bab
IV UU No. 11/2020 dan pengujian materiil UU Bab IV UU Bagian Kedua No. 11/2020
yakni Pasal 42 ayat (3) huruf c, Tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh
pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan
darurat, vokasi, perusahaan rintisan berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan
penelitian untuk jangka waktu tertentu.
Juga Pasal 57 ayat (1), Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan
bahasa Indonesia dan huruf latin. Pasal 57 ayat (2), Dalam hal perjanjian kerja
waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian
terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja
waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pemohon perkara 4
Berikutnya, permohonan Nomor
4/PUU-XIX/2021 diajukan R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja
Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662
Pemohon lainnya. Permohonan ini memecahkan rekor sebagai permohonan dengan
Pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian UU di MK.
Para Pemohon mengajukan pengujian
formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja. Secara formil, Pemohon meminta MK
menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja melanggar ketentuan pembentukan peraturan
perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat.
Sedangkan secara materiil, selain
meminta MK menyatakan inkonstitusional ataupun inkonstusional bersyarat pada
seluruh norma yang dipersoalkan, Pemohon juga meminta MK menyatakan sejumlah
pasal dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berlaku dan memiliki
kekuatan hukum mengikat. Karena itulah, para Pemohon meminta agar Mahkamah
menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat.
Pemohon perkara 6
Sementara para Pemohon Perkara Nomor
6/PUU-XIX/2021 Riden Hatam Aziz dkk melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja.
Menurut para Pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kepastian
hukum. Secara umum pembentukan UU a quo cacat secara formil atau cacat
prosedur.
Problem konstitusionalitas tersebut
terkait dengan tidak terpenuhinya syarat pemuatan Rancangan Undang-Undang (RUU)
tersebut dalam Prolegnas menurut ketentuan UU No. 12/2011, tidak dipedomaninya ketentuan
mengenai teknik dan sistematika pembuatan undang-undang menurut ketentuan UU
No. 12/2011, dan tidak dipenuhinya asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan menurut ketentuan UU No. 12/2011.
Bahwa dimuatnya RUU No. 11/2020 dalam
Prolegnas tidak bisa didasari atas rencana pembangunan jangka menengah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf f UU No. 12/2011 sebab Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hanya dapat disusun untuk
menjangkau periode waktu 5 (lima) tahun.
[REDHuge/KBB]
Beri komentar