"Pada
akhirnya UU Cipta Kerja masuk dalam pembahasan sidang ILC ke 111 yang
diinisiasi oleh KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia) dan KSPI
(Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) melalui perjuangan panjang dan diskusi
kurang lebih 2,5 tahun dengan ITUC (International Trade Union
Confederation)." kata Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban dikutip Jumat
(9/6/2023).
Menurut Elly,
awalnya kasus indonesia masuk didalam daftar panjang, no 18, melalui lobby
ketat yang dilakukan oleh ITUC, Cipta kerja masuk pada sorotan khusus pada
salah satu urutan teratas.
"Sebagai
ketua delegasi untuk tahun 2023 (tiap tahun ketua delegasi berganti), KSPI yang
membacakan statement, statement yang dipersiapkan melalui serangkaian diskusi
yang didampingi oleh ITUC." jelas Elly.
Eks Chair Labour
20 pada Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara G-20 Bali 2022 ini menegaskan
tanpa persetujuan KSBSI, maka tidak akan ada pembahasan UU Cipta Kerja di ILC
Jenewa, Swiss. Oleh sebab itu, Elly menegaskan tak boleh ada konfederasi yang
mengklaim berjuang sendiri.
"Jadi
kawan, tidak boleh ada konfederasi tertentu yang mengklaim bahwa ini adalah
hasil dari perjuangan mereka sendiri, karena tanpa persetujuan kami KSBSI,
kasus ini tidak akan pernah sampai pada sidang international tahunan ILC."
tegasnya.
Dipenuhi
Perdebatan
Sementara itu, Maria
Emeninta perwakilan ACVCSC Regional Asia yang juga aktivis Buruh KSBSI dalam
tulisan opininya mengulas bagaimana sidang ILC membahas UU Cipta Kerja.
"Sidang
ILC-111 Jenewa, Hari ini, pukul 15.00 waktu setempat atau 20.00 waktu Jakarta
pada, Kamis, 8 Juni 2023, di sidang ILO mengangkat persoalan indikasi
pelanggaran kebebasan berserikat dan perundingan bersama dengan munculnya UU
No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang." tulis Maria
dalam Opini yang dikutip, Jumat (9/6/2023).
Ia yang
mengikuti persidangan langsung di Jenewa menyatakan, dalam sidang tersebut,
Perdebatan panjang dan saling meng-'counter' isu terjadi sangat ketat, antara
pemerintah Indonesia yang memberikan pembelaan dengan serikat buruh yang
menggugat regulasi spektakuler (Kontroversial) tersebut.
Sementara itu,
seperti diduga, pengusaha berada pada sisi pemerintah yang secara jelas
menyampaikan pembentukan UU Cipta Kerja adalah (diklaim) untuk stimulus
investasi.
"Tak kurang
dari 6 intervensi serikat buruh kuat yang berasal dari Amerika Serikat, Brazil,
Korea Selatan, Belanda dan Australia mengulas sudut pandang berbeda atas
buruknya Perppu dan Cipta Kerja, mulai dari persoalan prosedur pembuatan
undang-undang yang inkonstitusional, substansi berbagai aturan turunan yang
mendegradasi hak buruh terkait upah, outsourcing, buruh kontrak dan kebebasan
berserikat sampai pada pemerintah yang telah diminta Mahkamah Konstitusi
membatalkan serta memperbaiki regulasi tetapi pemerintah justru memaksakan diri
melahirkan undang-undang baru serupa dengan alasan perang Rusia Ukraina dan
kemudahan investasi." jelasnya.
Maria menulis,
sorotan yang cukup mengundang dengung peserta cukup signifikan Ketika Clare
Middlemas dari ACTU Australia yang menjadi juru bicara utama buruh menyoroti
kasus “stay cation” buruh perempuan di Jawa Barat yang harus bersedia diajak
bermalam pengusaha kalau mau melanjutkan kontrak kerjanya.
Sebanyak 3
pengusaha dari Amerika Serikat, Belarus, Algeria, Yunani dan Brunei Darussalam
yang mewakili ASEAN membela pemerintah Indonesia dengan mendukung statemen
pemerintah yang disampaikan Surya Lukita Warman dari Kemnaker RI, bahkan secara
tersirat mengakui perlunya perbaikan undang-undang ini.
Sementara
sanggahan pengusaha yang disampaikan Myra Hanartani-APINDO mencoba memperkuat
argumen pentingnya stimulus ekonomi dan beberapa ulasan yang menunjukkan
perbaikan kondisi perburuhan di Indonesia termasuk bertumbuhnya pekerjaan,
sekaligus meningkatnya keberadaan serikat buruh, dapat disimpulkan bahwa
kebebasan berorganisasi tidaklah memburuk, tetapi juga meminta ILO memberi
bantuan teknis untuk menyikapi persoalan ini.
Sanggahan
tambahan yang makin membuktikan buruknya imbas Cipta Kerja dan Perppu
disampaikan oleh 3 observer dari IndustryAll, BWI dan PSI dengan beberapa kasus
tingkat perusahaan dan sektor berbeda yang diakhiri juru bicara buruh Clare
Middlemas bahwa ulasan yang disampaikan membuktikan Indonesia dalam kondisi
serius terhadap pelanggaran kebebasan berorganisasi dan berunding bersama.
"Eksploitasi,
diskriminasi adalah bukti lemahnya implementasi konvensi 98 di negri ini. Tidak
ada progress yang cukup baik dan pemerintah duduk bersama buruh untuk membahas
isu dan kasus-kasus tersebut. Jadi, pemerintah sudah seharusnya menunda dan
mengamandemen pemberlakuan UU No 6 tahun 2023, juga secara konkrit mendukung
implementasi perundingan bersama di tingkat wilayah dan perusahan. Pada
akhirnya buruh meminta komite membuat direct kontak mission di Indonesia.
Komite khusus
Norma Standard yang menjadi Komite terpenting di ILO akan mendalami kasus ini
dan mengambil keputusan sebelum tanggal 12 Juni menjelang berakhirnya sidang
tahunan ILO 2023." demikian Maria Emeninta. (huge) berita ini juga di muat di ksbsi.org
Beri komentar