Kalangan unionis berprediksi dengan
mengatakan, anggota DPR sudah sibuk mengurus daerah pemilihannya (dapil) karena
sebentar lagi sudah pemilihan legislatif (pileg). Dikatakan pula, semoga mereka
tidak memperbaikinya supaya UU Cipta Kerja itu menjadi inkonstitusional
permanen, sehingga UU 13/2003 kembali kepangkuan buruh. Namun terlepas dari
prediksi kalangan unionis itu, perlu juga disampaikan masukan kepada Pemerintah
dan DPR, manatahu mereka melakukan perbaikan secara tertutup sama seperti jilid
pertama.
Ada 2 (dua) Undang-undang Yang Harus
Diperbaiki
Pertama, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 20019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
Dan kedua, UU Cipta Kerja itu sendiri. Hal ini dapat diketahui dari amar dan
pertimbangan hukum putusan Nomor 91/PUUXVIII/2020. Pertimbangan hukum MK dalam paragraf
[3.20.3] menyatakan, “… dengan ini
Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk
dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan
metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. …” Kemudian
pertimbangan hukum itu dikonkritkan dalam amar angka 5 yang menyatakan,
“Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila
dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja … menjadi inkonstitusional secara
permanen;” Dalam paragraf [3.21] MK juga memberi pertimbangan hukum meminta
pembentuk Undang-undang memperbaiki substansi UU Cipta Kerja yang dipersoalkan
stakeholder dalam permohonan pengujian materiil di MK.
Perbaikan
Proses
Membaca pertimbangan hukum putusan Nomor
91/PUU-XVIII/2020, arah model omnibus law yang sesuai dengan UUD 1945 menurut
MK adalah model omnibus law perklaster, bukan model omnibus law yang mencakup
semua (11) klaster. Misalnya Klaster Ketenagakerjaan dibuat dalam 1 (satu)
Undang-undang dengan model omnibus law menampung 8 (delapan) Undang-undang yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan yang saat ini memang penting dan mendesak diubah, yaitu 1. UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 2. UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serkat Buruh; 3. UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial; 4. UU Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan
Perburuhan; 5. UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja; 6. UU Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; 7. UU Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; 8. UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia.
Kenapa
Perklaster
Karena antara, misalnya ketentuan uang
pesangon dalam Klaster Ketenagakerjaan dengan ketentuan impor komoditas
perikanan dan pergaraman yang diatur dalam Klaster Kemudahan Berusaha sama
sekali tidak memiliki kaitan. Kaitan ada jika misalnya “ikan mendapat uang
pesangon”. Sehingga menurut MK model omnibus law UU Cipta Kerja menjadi sulit
dipahami (baca paragraf [3.18.2.5]).
Perbaikan
Substansi
Selain perbaikan proses pembentukan UU
Cipta Kerja dengan mengubah UU P3, MK juga dalam putusannya meminta
Presiden/Pemerintah dan DPR untuk memperbaiki substansi atau
ketentuan-ketentuan atau norma hukum yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Hal itu
dapat dilihat dalam pertimbangan hukum paragraf [3.21] yang menyatakan sebagai
berikut, “Menimbang bahwa tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas materiil
UU a quo, oleh karena terhadap UU a quo banyak diajukan permohonan pengujian
secara materiil di Mahkamah, sementara Mahkamah belum mengadili UU a quo secara
materiil maka dalam melakukan perbaikan proses pembentukan UU a quo, pembentuk
undang-undang memiliki kesempatan untuk mengkaji kembali beberapa substansi
yang menjadi keberatan dari beberapa kelompok masyarakat.”
Apa
Ukuran Perbaikan Substansi
Ukuran perbaikan substansi harus sesuai
dengan Pancasila, UUD 1945 dan standar perburuhan internasional (ILO). Lebih
konkrit, ikuti pendapat/pertimbangan hukum 2 Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan
Anwar Usman dalam dissenting opinion (pendapat berbeda)-nya dalam perkara yang
diajukan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), yaitu putusan
Nomor 103/PUU-XVIII/2020 pada angka 6, halaman 490-504. Kedua Hakim Konstitusi
itu menyatakan pada pokoknya, permohonan uji materiil yang diajukan Pemohon
KSBSI dalam perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020 dapat dikabulkan sepanjang yang
terkait dengan isu PKWT, alih daya (outsourcing), pengupahan dan pesangon
karena bertentangan dengan UUD 1945.
Pengabulan permohonan KSBSI tersebut
menurut kedua Hakim Konstitusi itu disebabkan antara lain: Tentang PKWT: Posisi
pekerja selalu berada dalam posisi yang lemah dan tidak setara dengan
pengusaha; Mutlak diatur limitasi Jangka waktu PKWT mutlak diatur dalam UU;
Jangka waktu PKWT paling lama 3,5 tahun (2,5 + 1); Janka waktu PKWT terlalu lama berpotensi
mereduksi hak konstitusional pekerja; Pekerjaan yang bersifat tetap tidak boleh
diakali dengan menggunakan PKWT; Jangka
waktu PKWT tidak bisa hanya
ditentukan oleh Pemerintah saja melalui PP, melainkan juga harus ditentukan
oleh DPR dan Pemerintah melalui instrumen hukum UU.
Tentang Outsourcing: Pasal 66 UU
Ciptaker tidak memberikan perlindungan dan penghargaan yang memadai terhadap
pekerja yang telah meningkatkan skill dan keahliannya dalam hubungan kerja
sehingga pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945. Tentang Pengupahan:
Ketiadaan pengaturan terkait Upah Minimum Sektor dalam UU Ciptaker merupakan
suatu ketidakadilan yang bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, setiap industri
memiliki karakter dan sifat yang berbeda dengan industri lainnya. Misal,
industri di sektor pertambangan pastinya berbeda dengan industri di sektor
perbankan; Penetapan UMP/K dan UMSP/K harus memperhatikan rekomendasi dari
Dewan Pengupahan Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini merupakan upaya campur tangan
negara dan wujud implementasi dari prinsip negara kesejahteraan (religious
welfare state) yang kita adopsi, untuk melindungi hak atas penghidupan yang
layak bagi warganya.
Tentang PHK dan Pesangon: Pertama, 14
pasal PHK dan pesangon tidak memuat materi muatan perubahan pasal-pasal UU
Ketenagakerjaan, sehingga materi muatan dimaksud dimuat di dalam PP 35 Tahun
2021; Kedua, materi muatan PP 35 Tahun 2021 bertentangan Pasal 27 ayat (2) UUD
1945 dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 karena mengatur jumlah pembayaran uang
pesangon dengan nominal lebih rendah dari ketentuan yang sebelumnya; Ketiga,
konstitusionalitas UU Ciptaker dapat digantungkan pada Peraturan Pemerintah
(PP) sebagai pelaksana ketentuan dimaksud, sehingga apabila materi muatan PP
bertentangan dengan UUD 1945, maka secara serta merta materi muatan UU Ciptaker
bertentangan dengan UUD 1945.
Kesimpulan
Berangkat dari fakta-fakta tersebut di
atas maka pembentuk Undang-undang, dalam hal ini Presiden dan DPR harus melakukan
perbaikan proses pembentukan UU Cipta Kerja dengan merevisi UU P3 untuk
menampung perubahan berbagai Undang-undang yang mengatur kepentingan yang sama
dalam satu Undang-undang. Selain itu, Presiden dan DPR harus juga memperbaiki
substansi UU Cipta Kerja dengan ukuran sesuai nilai-nilai Pancasila, UUD 1945
dan standar perburuhan internasional (ILO), dan lebih konkrit, mengacu
pada pendapat/pertimbangan hukum 2 Hakim
Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., dan Dr. Anwar Usman, S.H., M.H.
_______
Penulis :Harris Manalu, S.H.: Ketua LBH
KSBSI
Beri komentar