Menaker menjelaskan, dalam Permenaker ini, bagi perusahaan
industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan
ekonomi global dapat melakukan penyesuaian besaran upah buruh dengan ketentuan
upah yang dibayarkan kepada buruh. Paling sedikit 75 persen dari upah yang
biasa diterima. Keputusan ini sesuai dalam pasal 7 ayat 1 beleid tersebut.
Lalu, penyesuaian upah ini hasil kesepakatan pengusaha
dan buruh. Namun, aturan memangkas maksimal 25 persen baru, berlaku 6 bulan sejak
aturan diundangkan. Artinya, Permenaker ini mengizinkan perusahaan tekstil dan
pakaian jadi, alas kaki, kulit dan barang kulit, furniture, serta mainan anak
melakukan pembatasan kegiatan serta menyesuaikan pembayaran upah. Permenaker
ini pun langsung dikecam aktivis serikat buruh. Karena dianggap semakin
menyengsarakan nasib buruh.
Trisnur Priyanto Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus
Pusat Federasi
Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit dan Sentra Industri afiliasi
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DPP FSB GARTEKS KSBSI) terbitnya Permenaker No.5 Tahun 2023 adalah
kebijakan ngawur.
“Saya heran dengan Menaker Ida Fauziyah ini, sejak
jadi Menaker tidak ada kebijakannya yang memihak pada buruh. Justru lebih
memihak pada pengusaha,” tegasnya, saat diwawancarai, melalui seluler. Apalagi,
dalam Pasal 8 Permenaker ini, upah buruh berpotensi dipotong sebesar 25 persen.
Kata Trisnur, pihak sedang berencana melakukan gugatan
ke Mahkamah Agung atas terbitnya Permenaker No.5 Tahun 2023. Memang, penyesuaian
Permenaker ini membutuhkan waktu dan berlaku 6 bulan sejak ditetapkan. Jadi
kalau selama 6 bulan perusahaan tidak memberlakukan penyesuaian sejak
Permenaker ditetapkan, maka tidak bisa digunakan.
“Tapi menurut saya, terlepas dari itu semua, kebijakan
Permenaker yang diterbitkan pemerintah memang ngaco, hanya menyengsarakan
buruh,” tegasnya.
Selain itu, kata Trisnur, kalau alasan Permenaker ini
diterbitkan dengan alasan dunia sedang terancam resesi global, kenapa hanya
buruh saja yang dikorbankan dengan cara
memotong upah. Disatu sisi, pemerintah justru memberi keuntungan kepada
pengusaha dengan memberikan kebijakan subsidi pengadaan kendaraan listrik
melalui keputusan Perpres Nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program
Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk
Transportasi Jalan.
Dimana, kata Trisnur, setiap 1 unit kendaraan listrik
mendapat subsidi sebesar Rp. 7.000.000,- sementara untuk tahap pertama sebanyak
200 unit, negara akan menggelontorkan untuk pengusaha sebesar Rp1,7 triliun.
Dia menilai ditengah situasi resesi global ini,
seharusnya pemerintah memperhatikan nasib buruh, bukan mementingkan
pengusaha saja.
“Dengan memberikan insentif tambahan akibat dampak
krisis global. Namun ini malah dipangkas upahnya.Hal ini menandakan pemerintah memang sudah tidak lagi
berpihak kepada buruh, tapi lebih condong ke pengusaha,”ujarnya.
Selin itu, Trisnur mengungkapkan bahwa sementara
selama ini buruh meminta penyesuaian upah agar formula upah dirubah dan tidak
menggunakan berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja. Tapi tetap saja pemerintah
tak menggubrisnya.
Intinya, Trisnur menyampaikan tidak mengerti cara
berpikir Ida Fauziyah selaku Menaker. Karena sejak awal menjabat sebagai
Menaker tidak ada satu pun kebijakannya yang memihak pada buruh di Indonesia.
“Justru Menaker terkesan sering membuat kebijakan yang
memonopoli peraturan untuk kepentingan pengusaha,” lugasnya.
Tegasnya, DPP FSB GARTEKS KSBSI bakal menyurati Kemnaker
supaya segera mencabut Permenaker No. 5 Tahun 2023. Kalau Menaker tidak
menggubris, maka FSB GARTEKS KSBSI segera mengambil langkah hukum seperti
melakukan gugatan hukum.
“Kami juga akan melakukan kampanye internasional dan
melaporkan kepada jaringan internasionalnya, seperti ke International Labour
Organization (ILO). Bahwa terbitnya Permaneker adalah produk peraturan yang
menindas kaum buruh,” tandasnya. (AH)
Beri komentar