Artinya, hasil penelitian UDR pada 2018
menunjukan dari 100 orang buruh status formal dan informal, hanya 13 orang
berminat bergabung di serikat buruh. Padahal, tujuan berdirinya serikat buruh
salah satunya memperjuangkan hak buruh yang diatur dalam undang-undang
ketenagakerjaan. Dan membantu penyelesaian kasus hubungan industrial serta
membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Sebelumnya, data yang pernah dirilis
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada 2017, menunjukkan jumlah serikat
pekerja/buruh mencapai 7.000 serikat. Tepatnya, mengalami penurunan dari tahun
2007 yang mencapai angka 14.000. Sementara jumlah anggota serikat pekerja atau
serikat buruh pada 2017 hanya sekitar 2,7 juta orang. Mengalami menurun dari
3,4 juta orang pada 2007.
Elly Rosita Silaban Presiden Konfederasi
Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), tak membantah jika minat buruh
berserikat menurun. Hal ini karena ada beberapa faktor, seperti ancaman
pengusaha melarang buruh berserikat. Dan melakukan pemberangusan serikat (union
busting) dengan cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada pengurus serikat
buruh di perusahaan. Sehingga banyak buruh takut berserikat di lingkungan kerja
mereka.
Padahal, hak buruh dalam kebebasan
berserikat itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Lalu dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28E ayat (3) bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan. Termasuk Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang
kebebasan pekerja untuk berorganisasi.
“Walau hak kebebasan buruh dalam
berserikat di perusahaan sudah diatur dalam undang-undang, faktanya banyak
perusahaan melanggarnya. Aparat penegak hukum kami nilai juga belum pernah
serius menyelesaikan kasus-kasus union busting, padahal laporannya sangat
banyak,” ucap Elly beberapa waktu lalu di Jakarta.
Evaluasi
Elly Rosita menerangkan serikat buruh
yang dipimpinnya sudah lama meninggalkan gerakan frontal saat membela hak dan
kesejahteraan buruh. Saat ini sudah membangun paradigma baru dengan
mengutamakan ‘sosial dialog’ dengan perwakilan pemerintah dan pengusaha dalam
menciptakan hubungan industrial yang harmonis.
“Tapi masih banyak perusahaan menganggap
serikat buruh it momok yang menakutkan. Kalau pun aksi demo terjadi, karena
upaya komunikasi melalui sosial dialog tidak ada titik temu lagi dengan pihak
perusahaan,” jelasnya.
Ia menerangkan pandemi Covid-19 yang
hampir 2 tahun ini ikut berpengaruh. Sebab, imbas virus Corona mengakibatkan
jutaan buruh menjadi korban PHK. Dan sebagian dari mereka adalah anggota
serikat buruh. “Termasuk belasan ribu buruh anggota federasi serikat buruh
afiliasi KSBSI sudah banyak tidak bekerja lagi,” terangnya.
Dia menyampaikan fenomena jumlah serikat
buruh di Indonesia memang bertambah. Tapi sayangnya, pertumbuhan itu justru
bukan karena kesadaran buruh ingin berserikat. Tapi karena latar belakang
konflik internal yang berkepanjangan, Sehingga, ketika ada pengurus serikat
buruh yang kecewa akhirnya mendirikan serikat buruh lagi.
“Jadi ya sama saja tak ada manfaatnya,
karena pertumbuhan jumlah serikat buruh banyak berdiri tapi jumlah buruh masuk
serikat buruh tak ada peningkatan,” jelasnya.
Bagi Elly Rosita, ketika minat buruh
semakin minim ikut berserikat adalah sebuah ancaman. Dan harus menjadi evaluasi
bersama oleh semua pemimpin serikat buruh/pekerja. Sebab tak bisa dibantah,
salah satu posisi tawar serikat buruh ketika jumlah anggotanya banyak.
“Kalau serikat buruh di Indonesia
semakin terus mengalami degradasi, khususnya dalam jumlah anggotanya maka
posisi tawarnya semakin tak diperhitungkan dihadapan pemerintah dan pengusaha,”
ungkapnya.
Solusinya, aktivis serikat buruh harus
bisa menghindari konflik internal organisasi yang berpotensi menimbulkan
perpecahan. Lalu, kembali melakukan tradisi pengorganisiran dan pendidikan
untuk menciptakan kader militan yang mampu membangun kesadaran buruh untuk
berserikat.
“Kader-kader muda yang dilahirkan
menjadi pemimpin serikat buruh sekarang ini sudah harus dibekali kemampuan
intelektual da komunikasi yang baik. Agar mereka bisa mampu berdialog dan
menjelaskan tujuan serikat buruh di perusahaan ketika berunding dengan
manajemen perusahaan,” pungkasnya.
Intinya, di era industri 4.0 ini, Elly
Rosita gerakan serikat buruh harus bisa merubah paradigmanya menjadi gerakan
yang menakutkan pengusaha. Tapi perusahaan bisa menerima dengan cara berdialog
serta menjadi mitra kerja di dunia industrial. Kalau pun terjadi perselisihan
ketenagakerjaan di lingkungan perusahaan, sebaiknya mengedepankan sosial
dialog, bukan langsung melakukan aksi demo.
“Kuantitas anggota serikat buruh itu
memang perlu untuk meningkatkan posisi tawar. Tapi harus diingat, kalau jumlah
anggotanya banyak, namun Sumber Daya Manusia (SDM) pengurus dan anggotanya
lemah juga tak ada manfaat,” ucapnya.
Karena itulah, KSBSI sekarang ini fokus
melakukan pengorganisiran buruh serta melakukan pengakaderan dan pendidikan
untuk meningkatkan SDM. Artinya kuantitas harus dilengkapi dengan kader-kader
cerdas yang mampu menjawab tantangan zaman,” tandasnya. (A1) berita ini telah tayang di ksbsi dengan judul KSBSI Ingatkan Ancaman Minat Buruh Yang Semakin Minim Berserikat
Beri komentar