Pada saat
itu di Hindia Belanda menetapkan pasal 111 Regeling Reglement (RR) yang
melarang dilakukannya rapat dan pembentukan sebuah organisasi tanpa ijin khusus
dari pemerintah kolonial. Namun, pada tahun 1903 pemerintah kolonial menerapkan
desentralisasi susunan pemerintah kolonial dan menetapkan Bandung, Semarang,
Surabaya, dan Batavia menjadi suatu gemente/ kota dan pengeturannya
dilaksanakan oleh gementeraad (dewan kota), yang kemudian menjadikan pasal 111
RR tidak berlaku.
Pembentukan
serikat-serikat oleh buruh impor, selain merupakan pengaruh dari perkembangan
gerakan buruh yang berlangsung di Eropa pula merupakan bagian dari kepentingan
politik terbatas kehidupan kota. Perkembangan selanjutnya dalam keanggotaannya
serikat buruh ini tidak hanya merekrut anggota impor saja, melainkan juga
menerima kalangan bumiputera. Belanda membentuk serikat buruh di negeri-negeri
jajahan. Banyaknya buruh kulit putih di negeri jajahan ini juga bersangkutan
dengan semakin berkembangnya industri, terutama industri perkebunan, yang
kemudian menuntut dikembangkannya sarana transportasi yang menghubungkan lahan
kebun, pabrik dan pasar-pasar, didirikannya sekolah-sekolah untuk mencetak
tenaga perkebunan yang handal dari kalangan pribumi, maupun perluasan jajaran
birokrasi yang diperlukan untuk mengatur perekonomian modern yang lebih
kompleks tersebut.
Berturut-turut
lahirlah Nederlandsch-Indisch Onderwijzer Genootschap (1897), Statspoor Bond
(serikat kereta api negeri, 1905), Suikerbond (serikat buruh gula, 1906),
Cultuurbond Vereeniging v. Asistenten in Deli (serikat pengawas perkebunan
Deli, 1907), Vereeniging von Spoor en Tramweg Personeel in Ned-Indie (serikat
buruh kereta api dan trem, 1908), dll.
Sekalipun
pada awalnya serikat-serikat buruh ini dibangun oleh buruh-buruh kulit putih,
namun semangat internasionalis dari gerakan buruh, yang saat itu sedang kuat di
Eropa, meluber juga ke Hindia Belanda. Banyak serikat buruh yang tadinya
eksklusif untuk kulit putih ini perlahan-lahan membuka pintu untuk bergabungnya
buruh-buruh pribumi. Selain itu, persinggungan antara buruh-buruh pribumi
dengan buruh-buruh kulit putih telah menularkan pula keinginan untuk membangun
serikat buruh sendiri di kalangan pribumi.
Program
pendidikan merupakan salah satu program dalam politik balas jasa di awal tahun
1900 memberi nuansa baru dalam perkembangan intelektual bumiputera ditambah
dengan pembentukan serikat-serikat oleh buruh impor yang kemudian memicu
serikat buruh dibangun oleh kaum pribumi. Serikat buruh pribumi antara lain
Perkumpulan Bumiputra Pabean (PBP) tahun 1911, persatuan Guru Bantu (PGB) tahun
1912, perserikatan Guru Hindia-Belanda (PGHB) tahun 1912, Persatuan Pegawai
Pegadaian bumiputra (PPPB) tahun 1914, Perhimpunan Kaum Buruh dan Tani (PKBT)
didirikan tahun 1917 di lingkungan industri gula.
Persatuan
Kaum Buruh (PPKB) adalah gagasan dari Sosorokardono, ketua PPPB (Pegawai
Pegadaian) tahun 1919 yang dikemukakan dalam kongres SI ke IV, pada Oktober
1919 di Surabaya. Berdirilah PPKB dengan Semaoen sebagai ketua dan
soerjopranoto sebagai wakil ketua. Tujua dibentuknya PPKB adalah bermaksud
untuk mengajak da mengadakan persatuan antara kaum buruh sederajat sehingga
mendapat suatu kekuasaan yang akan dipergunakan untuk kesejahteraan kaum buruh.
Cara yang
ditempuh PPKB antara lain melakukan sesuatu sehingga kekuasaan pemerintah
diperintah oleh rakyat sendiri, mengadakan perdagangan, mengeratkan kaum buruh
senasib dan seperjuangan, dan mendirikan koperasi. Pada bulan Juni 1920
diadakan suatu konferensi di Jogjakarta yang kemudian menyebabkan terpecahnya
PPKB dan terbentuknya gabungan baru bernama Revolutionaire Vakcentrale yang
diketuai oleh Semaoen. Pemogokan-pemogokan dengan mengandalkan organisasi mulai
gencar terjadi tahun 1920-an. Pemogokan-pemogokan yang semakin menjalar
tersebut di respon Gubernur dengan menerbitkan peraturan baru yang mendukung
berupa tulisan / artikel yang dimuat dalam surat kabar. Sumber : disnakertrans.bantenprov.go.id
Beri komentar