"Pada tanggal 31 Oktober 2024 MK telah menjatuhkan Putusan
Nomor 168/PUU-XXI/203 perihal pengujian materiil UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja menjadi Undang-Undang. Dalam putusan tersebut terdapat 21 pasal atau ayat
atau norma yang dikabulkan." Kata Sekjen KSBSI Dedi Hardianto dalam
keterangan resminya, Selasa (26/11/2024).
Dedi mengupas, dari 21 pasal atau ayat atau norma yang dikabulkan
terdapat 2 amar yang saling berkaitan yang harus segera ditindaklanjuti, paling
lambat diakhir tahun ini (2024), yaitu amar angka 12 tentang Upah Minimum
Sektoral Provinsi dan upah minimum Kabupaten/Kota (UMSP/UMSK) dan angka 13
tentang formula/variabel penghitungan kenaikan upah minimum Provinsi dan upah
minimum kabupaten/Kota (UMP/UMK).
Menurut Dedi, KSBSI berpandangan, dengan adanya amar angka 12
berimplikasi terdapat kekosongan hukum positif yang mengatur penetapan
UMSP/UMSK. Demikian juga dengan amar angka 13 yang berimplikasi hukum formula
penghitungan upah minimum dengan menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi,
inflasi dan indeks tertentu yang diterapkan selama ini berdasarkan PP 51 Tahun
2023 menjadi tidak berlaku, karenanya perlu dimaknai atau dirumuskan ulang
sesuai makna hukum yang sebenarnya.
Amar angka 12 menyatakan Pasal 88C bertentangann dengan UUD 1945
dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk
gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat
untuk kabupaten/kota”. Artinya, selain UMP/UMK, termasuk juga UMSP/UMSK wajib
ditetapkan Gubernur atas pertimbangan dan usul dewan pengupahan.
Kemudian amar angka 13 menyatakan frasa “indeks tertentu” dalam
Pasal 88D ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “indeks tertentu merupakan variabel
yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi
atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan
pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup
layak (KHL) bagi pekerja/buruh”.
Selain kedua amar tersebut, KSBSI juga mengapresiasi dan penting
menindaklanjuti dan mengawal pendapat Majelis Hakim MK yang pada pokoknya
menyatakan, pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) perlu segera membentuk
UU Ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur
dalam UU 6/2023, karena:
1. UU 13/2003 tidak utuh lagi, karena sebagian diatur dalam UU
6/2023, dan juga 12 permohonan pengujian UU 13/2003 telah dikabulkan sebelum
dibentuk UU 6/2023;
2. Terbuka kemungkinan norma dalam UU 13/2003 dan UU 6/2023 tidak
konsisten, tidak sinkron, dan tidak harmonis;
3. Banyak materi yang berkenaan dengan pembatasan hak dan kewajiban
buruh dan pengusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah dari yang seharusnya
diatur dalam UU, yang hal ini bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
(pembatasan hanya dapat dilakukan dengan produk hukum berupa undang-undang);
4. Perhimpitan norma dalam UU 13/2003 dengan norma dalam UU 6/2023
sangat mungkin akan mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara, in casu yang
berpotensi merugikan buruh dan pengusaha, sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 (vide pertimbangan hukum hlm. 675 – 677).
Selain itu, dalam forum diskusi juga disepakati bahwa oleh karena
terdapat fakta banyak peraturan perundang-undangan di bidang ketenakerjaan
lainnya yang dinilai menghambat jaminan perlindungan, kepastian hukum,
keadilan, dan kesejahteraan buruh dan serikat buruh, maka di masa pemerintahan
Prabowo ini penting KSBSI mengusulkan dilakukan revisi atau amandemen perbaikan
terhadap berbagai peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan.
Atas dasar pemikiran tersebut di atas, diminta untuk melaksanakan
hal-hal sebagai berikut:
I. Formula Penghitungan Kenaikan Upah Tahun 2025
1. Kepada Dewan Pengupahan Provinsi dan Kabupaten/Kota unsur KSBSI
atau Federasi Afiliasi KSBSI diminta untuk melaksanakan penetapan UMP/UMK Tahun
2025 dengan berpedoman pada FORMULA KUMULATIF (PENAMBAHAN) DARI 3 VARIABEL
(PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN INDEKS TERTENTU), dengan pertimbangan dan
kebijakan sebagai berikut:
a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “dan”
mempunyai pengertian, “penghubung satuan bahasa (kata, frasa, klausa, dan
kalimat) yang setara, yang termasuk tipe yang sama serta memiliki fungsi yang
tidak berbeda”.
b. Berdasarkan KBBI tersebut maka kata “dan” dalam frasa
“pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat (2)
yang berbunyi, “Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks
tertentu” memiliki makna penjumlahan dari 3 variabel tersebut, tidak dapat
dimaknai menjadi pengurang.
c. Dalam PP 51/2023 ternyata Pemerintah menetapkan formula:
inflasi + (pertumbuhan ekonomi x indeks tertentu). Akibatnya variabel “indeks
tertentu yang ditetapkan dalam rentang nilai 0,10 – 0,30” menjadi variabel
pengurang dari pertumbuhan ekonomi. Misalnya, pertumbuhan ekonomi 5%, inflasi
1?n disepakati indeks tertentu 0,30. Maka kenaikan upah menjadi 1% + (5% x
0,3% = 2,5%. Namun jika indeks tertentu 0,3% dihitung menjadi variabel
penjumlahan dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi maka kenaikan upah menjadi 5%
+ 1% + 0,3% = 6,3%.
d. Jika tetap menggunakan formula “(pertumbuhan ekonomi + inflasi)
x indeks tertentu, apalagi indeks tertentu hanya dipatok dalam rentang nilai 01
– 0,3 maka kenaikan upah tahun 2025 tidak akan mencapai kebutuhan hidup layak
bagi kemanusiaan, yang berdasarkan amar angk 9 disebut, “Menyatakan Pasal 88
ayat (1) yang menyatakan “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan
pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup
pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman,
sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”.
e. Untuk mencapai penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut
maka MK telah mengubah pemaknaan variabel “indeks tertentu” sebagaimana
dimaksud PP 51/2023 menjadi sebagaimana disebut dalam amar angka 13 yang
menyatakan frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat (2) bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai
“indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja
terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan
kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk
memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”.
f. Berdasarkan segenap pertimbangan tersebut di atas maka formula
penghitungan upah minimum (UMP/UMK) tahun 2025 adalah sebagai berikut:
PERTUMBUHAN EKONOMI + INFLASI + INDEKS TERTENTU.
Dengan ketentuan:
(1). Besaran Pertumbuhan Ekonomi di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota sesuai dengan besaran yang ditetapkan Badan Pusat Statistik;
(2). Besaran Inflasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sesuai
dengan besaran yang ditetapkan Badan Pusat Statistik;
(3). Rentang nilai Indeks Tertentu ditetapkan sebesar 1,0 – 1,2;
(4). Contoh, untuk penghitungan UMP DKI Jakarta Tahun 2025:
* UMP DKI Jakarta Tahun 2024 = Rp5.067.381,-
* Formula penghitungan kenaikan tahun 2025:
Pertumbuhan Ekonomi + Inflasi + Indeks Tertentu
= 4,84% + 1,70% + 1,2% = 7,74%
Kenaikan sebesar 7,74% = Rp392.215,-
* UMP DKI Jakarta 2025 = Rp5.067.381 + Rp392.215 = Rp 5.459.596,-
2. Kepada Korwil KSBSI Provinsi atau Dewan Pengupahan Provinsi
unsur KSBSI dan DPC Afiliasi KSBSI atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota unsur
afiliasi KSBSI, diminta untuk melaksanakan penetapan UMSP/K Tahun 2025 dengan
berpedoman pada ketentuan Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018
tentang Upah Minimum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Amar angka 12 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
168/PUU-XXI/2023 menyatakan Pasal 88C bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur
wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk
kabupaten/kota”.
b. Dengan adanya amar angka 12 tersebut maka selain UMP/K,
Gubernur juga wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi
(UMSP) dan upah minimum sektoral pada wilayah kabupaten/kota (UMSK).
c. Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018
tentang Upah Minimum telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pencabutan Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan sebagai Akibat Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Beserta Peraturan Pelaksanaan, Namun oleh karena
terdapat kekosongan hukum dalam pengaturan UMSP/K maka PP 78/2015 dan Permenaker
15/2018 maka untuk terciptanya asas kemanfaatan, kepastian hukum, dan keadilan
PP 78/2015 dan Permenaker 15/2018 dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan
UMSP/K tahun 2025 sampai terbitnya peraturan baru yang mengatur penetapan
UMSP/K.
Pedoman formula kumulatif (penambahan) dari 3 variabel
(pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu) dalam menetapkan kenaikan
UMP/K dan penggunaan PP 78/2015 dan Permenaker 15/2018 sebagai pedoman
penetapan UMSP/K ditetapkan sebagai PROGRAM JANGKA PENDEK DAN MENDESAK (2024).
II. Revisi UU No 13/2003 untuk Program Jangka Menengah
(2025-2026).
1. Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023
Mahkamah Konstitusi menyatakan, menurut Mahkamah pembentuk undang-undang (DPR
dan Presiden) harus segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru
dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023 dengan
pertimbangan yang pada pokoknya:
a. UU 13/2003 tidak utuh lagi, karena sebagian diatur dalam UU
6/2023, dan juga 12 permohonan pengujian UU 13/2003 telah dikabulkan sebelum
dibentuk UU 6/2023.
b. Terbuka kemungkinan norma dalam UU 13/2003 dan UU 6/2023 tidak
konsisten, tidak sinkron, dan tidak harmonis.
c. Banyak materi yang berkenaan dengan pembatasan hak dan
kewajiban buruh dan pengusaha diatur dalam PP dari yang seharusnya diatur dalam
UU. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 (pembatasan hanya
dapat dilakukan dengan produk hukum berupa undang-undang).
d. Perhimpitan norma dalam UU 13/2003 dengan norma dalam UU 6/2023
sangat mungkin akan mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara, in casu yang
berpotensi merugikan buruh, sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
(vide Hlm. 675 – 677).
2. Berdasarkan pertimbangan MK tersebut maka KSBSI akan
memperjuangkan pembentukan UU Ketenagakerjaan baru untuk merevisi, penyatuan,
sinkronisasi, dan penataan ulang hukum ketenagakerjaan yang diatur dalam UU
13/2023, UU 6/2023, berbagai PP, Permenaker, dan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi, serta berbagai Surat Edaran Mahkmah Agung. Naskah UU
Ketenagakerjaan baru akan segera diajukan kepada Pemerintah dan DPR RI (Baleg
dan Komisi IX). Diharapkan paling lama akhir tahun 2026 sudah terbut UU
Ketenagakerjaan yang baru sebagaimana dimaksud pertimbangan hukum dalam putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut.
3. Oleh karena itu DEN KSBSI meminta kepada para DPP Federasi
Serikat Buruh Afiliasi KSBSI, para Korwil KSBSI, para DPC dan PK Federasi
Serikat Buruh Afiliasi KSBSI di tingkat organisasi masing-masing untuk segera
melakukan diskusi- diskusi atau kajian terhadap materi atau norma yang perlu di
revisi dalam UU 13/2023, UU 6/2023, berbagai PP, Permenaker, dan
putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, serta berbagai Surat Edaran Mahkmah Agung,
sehingga naskah revisi yang disampaikan KSBSI kepada Pemerintah dan DPR RI
sesuai harapan kita masing-masing: adil dan sejahtera.
III. Revisi / Reformasi Berbagai UU di Bidang Ketenagakerjaan
untuk Program Jangka Panjang (2026-2029). (Reel) berita ini juga ada di ksbsi.org, kantorberitaburuh.com dan sinarpagibaru
Beri komentar