
Dalam kajiannya,
KSBSI mengacu pada putusan MK yang menyebutkan, "Menyatakan frasa 'indeks
tertentu' dalam pasal 88D ayat 2 dalam pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
'indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja
terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan
kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk
memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh'.
"Kita
mengusulkan kepada pemerintah bahwa dalam penetapan upah itu kita harus tetap
sepemahaman. Tidak bisa lagi menggunakan PP Nomor 51 tahun 2023 tentang
Pengupahan. Oleh karena itu kita kembali ke undang undang (sambil menunggu
aturan baru yang akan dibuat pemerintah)," kata Sekjen KSBSI Dedi
Hardianto saat konferensi pers usai melakukan kajian penghitungan Formula Upah
2025 bersama Kuasa Hukum KSBSI, Korwil KSBSI DKI Jakarta beserta federasi
afiliasinya dan Pimpinan-Pimpinan Pusat Federasi afiliasi KSBSI di Bilangan
Matraman, Jakarta Timur, Senin (18/11/2024).
Ada 3 usulan yang
dibuat KSBSI. usulan pertama dan mendesak adalah terkait dengan formula
penghitungan upah yang akan menentukan besaran upah minimum tahun 2025, dua
usulan lainnya akan masuk dalam Jangka Menengah dan Jangka Panjang.
Usulan Mendesak
Dedi
mengungkapkan, pertama dalam skema penetapan upah, KSBSI tetap mengacu pada
Pasal 88D, ada pertumbuhan ekonomi (PE), inflasi dan indeks tertentu dengan
nilai 1 - 1,2% (bukan lagi 0,10 - 0,30). Indeks tertentu dengan nilai 1 - 1,2
merupakan hasil kajian dari Dewan
Pengupahan Nasional dan lembaga Kerjasama Tripartit Nasional dari unsur Buruh.
Sehinga Formula
penghitungan upah tahun 2025 (DKI Jakarta) menjadi:
(PE) 4,84% +
(Inflasi) 1,70% + 1,2 = 7,74%;
Artinya: Kenaikan
upah Minimum Provinsi Tahun 2025, naik sebesar 7,74 persen. Untuk DKI Jakarta,
kenaikan 7,74 persen adalah Rp 392.215,-
"Kita
menggunakan undang undang yang ada (putusan MK) tapi dalam skema yang
akumulatif, bukan perkalian. Jadi kita tetap menjalankan regulasi yang ada,
bahwa kemudian ada perdebatan-perdebatan dari indeks tertentu, kita bisa
mendiskusikan itu." tandas Aktivis Senior KSBSI yang juga menjabat sebagai
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra bidang Perburuhan.
Terkait dengan
indeks tertentu dimana pemerintah masih mengusulkan adanya perubahan-perubahan,
menurut Dedi, KSBSI juga ingin mengusulkan perubahan-perubahan itu.
"Kita ingin
investasi tumbuh, namun kita ingin hak-hak buruh juga tidak dihilangkan. Kita
ingin negara ini aman, tapi juga negara tidak boleh abai terhadap hak pekerja
buruh, itu yang mendesak!" kata Dedi.
Kemudian yang
kedua, terkait upah sektoral, Dedi mengatakan, kembali kepada putusan MK bahwa
upah sektoral tetap harus dijalankan dengan skema yang seharusnya sudah
diperbarui. Jika masih mengacu pada aturan sebelumnya, maka ketetapan kenaikan
upah sektoral paling minim adalah 5 persen.
"tentu
dengan skema, kalau bicara undang undang terdahulu, paling minim adalah 5
persen. Kita ingin pemerintah menetapkan upah sektoral paling minim adalah 5
persen. Soal kemudian ada angka yang lebih tinggi, itu bisa disepakati antara
serikat pekerja dan asosiasinya,"
Penetapan UMP 2025 Ditunda?
Sebelumnya,
pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan Yassierli belum dapat memastikan
apakah penetapan dan pengumuman upah minimum atau UMP 2025 dapat diumumkan pada
21 November 2024 atau justru diundur.
Jika merujuk
aturan sebelumnya yakni Peraturan Pemerintah (PP) No.51/2023 tentang
Pengupahan, upah minimum ditetapkan dan diumumkan paling lambat 21 November
untuk provinsi dan 30 November untuk kabupaten/kota. Namun atas dasar putusan
MK, maka PP 51/2023 tidak dapat lagi digunakan Pemerintah untuk menetapkan upah
minimum 2025.
Godok Aturan Pengupahan Baru
“Belum bisa
dipastikan [pengumuman UMP],” kata Yassierli dikutip Minggu (17/11/2024).
Yassierli mengatakan, saat ini pemerintah masih menggodok aturan pengupahan
baru setelah adanya putusan MK.
Menurutnya,
kondisi pada tahun ini cukup berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, mengingat
pemerintah perlu menindaklanjuti putusan MK yang meminta agar regulasi mengenai
ketenagakerjaan dipisah dari Undang-undang Cipta Kerja.
Saat ini, dia
menyebut bahwa pemerintah tengah menggodok rumusan terbaik untuk meningkatkan
kesejahteraan buruh. Selain itu, Menaker mengakui, pihaknya juga masih akan
melaksanakan rapat bersama Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dan Lembaga
Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional yang waktunya juga belum dapat ditentukan.
Sampai saat ini,
belum bisa dipastikan apakah penetapan UMP 2025 akan sesuai jadwal atau
tidaknya.
Jangka Menengah
dan Jangka Panjang
Merespon hal itu,
Sekjen KSBSI mengatakan, karena banyak dari putusan MK yang mendegradasi UU
Nomor 13 tahun 2003, maka, kata Dedi, KSBSI akan mendorong pasal-pasal dalam
Undang undang yang sudah diubah oleh MK, dimasukan ke dalam aturan
perundang-undangan yang akan dibuat oleh Pemerintah.
"Kita ingin
disinkronisasi terlebih dahulu," kata Aktivis senior KSBSI ini. Menurut
Dedi, sinkronisasi perubahan aturan baru
itu menjadi bagian dari usulan KSBSI jangka menengah," terangnya.
Sementara untuk
jangka panjang, termasuk pertimbangan hasil putusan MK, Dedi mengatakan, dalam
hal ini, KSBSI siap mendorong dilakukan kajian yang lebih mendalam agar
regulasi yang akan dibuat pemerintah betul betul bermanfaat untuk pekerja
buruh.
"KSBSI ingin
undang undang yang baru yang akan dibuat Pemerintah, betul betul bermanfaat
buat pekerja buruh, bermanfaat buat pemerintah dan pengusaha, sehingga pekerja
buruh untuk nol sampai 1 tahun itu tidak perlu lagi berselisih dalam penetapan
upah." terangnya.
"Kita ingin
Struktur skala upah betul-betul dijalankan menjadi wajib, wajib untuk pengusaha
dan wajib untuk pekerja buruh. Sehingga upah yang ideal, upah yang equal betul
betul dirasakan oleh pekerja buruh tanpa harus ada keributan." tandasnya.
[HUGE] berita ini ada di ksbsi.org, kantorberitaburuh.com
Beri komentar