Materi gugatan KSBSI menyasar beberapa hal krusial dari pasal-pasal yang menjadi isi UU TAPERA yang memaksa pemotongan upah buruh dan pengusaha sebesar 3 persen.
KSBSI menegaskan, bahwa UU TAPERA melanggar hak konstitusional rakyat untuk mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Upah masih kecil, belum mencapai kebutuhan hidup layak (rata-rata Rp. 2,9 juta);
2. Buruh dan pengusaha telah diwajibkan membayar iuran jaminan sosial yang cukup besar (buruh 4 persen, dan pengusaha 11,74 persen);
3. Program Tapera tumpang tindih dengan program BPJS ketenagakerjaan;
4. Buruh sudah banyak memiliki rumah dengan cara mencicil;
5. Hubungan kerja PKWT yang setiap saat dapat di PHK;
6. PHK merajalela akibat perusahaan banyak tutup dan terseok-seok, dan pemudahan PHK dalam UU Cipta Kerja;
UU TAPERA diskriminatif (manfaat);
8. UU TAPERA membebani buruh untuk menanggung beban yang seharusnya menjadi beban Pemerintah untuk membiayai fakir miskin;
9. Inflasi tinggi.
Oleh karena itu, KSBSI menilai, UU TAPERA memberatkan Buruh dan sangat layak untuk ditolak, dicabut dan dibatalkan.
Selain menggugat, dalam aksinya, KSBSI menyampaikan tuntutan sebagai berikut :
1. Menolak pemberlakuan UU TAPERA beserta aturan turunannya;
2. Menuntut Pemerintah untuk melakukan dialog yang terbuka dan transparan dengan pemangku kepentingan tentang kebijakan penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat tanpa membebani buruh/buruh melalui tabungan wajib;
3. Menuntut pemerintah melaksanakan Rekomendasi ILO Nomor 115 Tahun 1961 tentang Perumahan Buruh;
[HUGE/KBB] berita ini ada di kantorberitaburuh.com
Beri komentar