Dalam
persidangan ini, Elly Rosita Silaban Presiden KSBSI dan Dedi Hardianto
Sekretaris Jenderal (Sekjen) KSBSI sebagai prinsipal. keduanya didampingi Tim Kuasa Hukum dari LBH KSBSI diantaranya Harris
Manalu SH, Saut Pangaribuan SH MH, Parulian Sianturi SH dan Haris Isbandi SH.
Hakim yang
memimpin hakim persidangan adalah Dr.
Suhartoyo, S.H., M.H (Ketua MK), Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, S.H.,
M.H., (Anggota MK) dan Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, S.H., M.H (Anggota MK).
Dalam persidangan,
Harris Manalu sebagai perwakilan kuasa hukum mengatakan ada 7 poin yang akan
diajukan subjek pemohon gugatan pengujian materiil UU Nomor 4 Tahun 2016
Tapera. Diantaranya:
1. Pasal 7
ayat (1) yang berbunyi: (dianggap dibacakan);
2. Pasal 9
ayat (1) yang berbunyi: (dianggap dibacakan);
3. Pasal 9
ayat (2) yang berbunyi: (dianggap dibacakan);
4. Pasal 16
yang berbunyi: (dianggap dibacakan);
5. Pasal 17
ayat (1) yang berbunyi: (dianggap dibacakan);
6. Pasal 54
ayat (1) yang berbunyi: (dianggap dibacakan);
7. Pasal 72
ayat (1) UU 4/2016 yang berbunyi: (dianggap dibacakan).
Pasal-pasal
dalam UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusi pengujian atau batu uji:
1. Pasal 28D
ayat (2) yang berbunyi: (dianggap dibacakan);
2. Pasal 281
ayat (2) yang berbunyi: (dianggap dibacakan);
3. Pasal 34
ayat (1) yang berbunyi: (dianggap dibacakan);
Harris
menyampaikan, “karena permohonan ini adalah permohonan pengujian
konstitusionalitas suatu UU, dalam hal ini UU Nomor 4 Tahun 2016 Tentang
Tapera, maka menurut Pemohon, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Sehingga, MKRI berwenang
memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo”.
Kedudukan Hukum Pemohon.
1. Bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 jo. Pasal 3 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 dinyatakan bahwa Pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang yaitu: a, b, c. dan d dianggap dibacakan;
2. Bahwa
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 menyatakan, "Yang dimaksud dengan
hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945
3. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya Mahkamah Konstitusi telah
menentukan 5 syarat mengenai kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU No 24/2003, yakni a, b, c, d, dan e dianggap dibacakan;
2. Bahwa
Pemohon adalah organisasi serikat buruh berbentuk konfederasi sebagai badan
hukum privat yang berdasarkan ketentuan Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 Anggaran
Dasar Pemohon, keberadaan Pemohon bertujuan, berfungsi dan berupaya untuk,
antara lain: a. menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi buruh untuk memperoleh
perlindungan hukum, kondisi kerja, hidup, dan upah yang layak; b, c, d, dan e
dianggap dibacakan;
3.. Bahwa
merujuk UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, dianggap dibacakan, dan
Pasal 28C ayat (2) yang menyatakan, dianggap dibacakan maka dapat disimpulkan
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk memperjuangkan hak dan
kepentingan pekerja/buruh (anggota Pemohon) untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak bagi kemanusiaan dalam hubungan
kerja; hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil; hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif; dan hak untuk tidak
dibebani dari yang seharusnya menjadi beban pemerintah.
Alasan Permohonan
Bahwa Pemohon
mengajukan 9 alasan untuk menyatakan UU 4/2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yaitu:
1. Upah
pekerja/buruh belum mencapai kebutuhan hidup layak, karena upah masih kecil;
2.
Pekerja/buruh dan pengusaha telah diwajibkan membayar iuran jaminan sosial yang
cukup besar;
3. Program
Tapera tumpang tindih dengan program BPJS Ketenagakerjaan;
4.
Pekerja/buruh formal dan pekerja/buruh mandiri (informal) telah banyak memiliki
rumah dengan cara mencicil setiap bulan kepada bank pemberi kredit untuk sekian
puluh tahun kedepan;
5. Hubungan
kerja PKWT yang sangat berpotensi setiap 3 bulan atau 6 bulan atau 12 bulan
pekerja/buruh mengalami PHK;
6. PHK merajalela
akibat perusahaan banyak tutup dan terseok-seok, dan pemudahan PHK dalam UU
Cipta Kerja.
Berdasarkan
alasan dan fakta dan bukti yang sudah disampaikan, pihak pemohon kuasa hukum
dari prinsipal memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim MKRI agar berkenan
memberi keputusan, sebagai berikut:
1. Mengabulkan
permohonan Pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan
UU Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Tapera (Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun
2016 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5863) bertentangan
dengan UUD 1945 Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
3. Memerintahkan
pemuatan pemutusan dalam berita Negara Repubik Indonesia sebagaimana
semestinya. (Red/AH)
Beri komentar