Elly Rosita Silaban Presiden KSBSI
mengatakan workshop ini momen penting bagi serikat buruh. Sebab, para pemimpin negara
maju dalam G20, menunjuk Indonesia tuan rumah pembahasan ekonomi global dalam
agenda Konferensi Tingkat Tinggi (KTTG20) tahun 2022. Bersamaan itu juga digelar
pertemuan pemimpin serikat buruh/pekerja dari perwakilan negara maju atau
dikenal L20.
“Pemerintah telah meminta KSBSI
sebagai penanggung jawab pertemuan L20. Jadi kita semua harus bekerja keras mensukseskan
momen bersejarah ini untuk membawa nama baik nama negara. Dan ikut menyampaikan
suara buruh di forum KTT G20,” ucapnya di Hotel Dafam Jakarta Timur, Senin
(30/8/21).
Ada 2 isu yang dibahas dalam workshop
ini. Pertama mengangkat tema ‘Memperluas Perlindungan Tenaga Kerja untuk Pekerja
Platform Digital’ yang disampaikan Rekson Silban Majelis Pembina Organisasi
(MPO) KSBSI. Kemudian pada sessi kedua tentang ‘Perubahan Iklim (Climate
Change) dan Transisi Yang Adil (Just Transition)’ yang materinya diberikan
Maria Emeninta dari IIWE.
Rekson Silaban menyampaikan
perkembangan teknologi digital di era industri 4.0 telah banyak melahirkan
jenis pekerjaan baru dan menghilangkan pekerjaan lama. Sehingga, ratusan juta
orang di dunia ini terpaksa kehilangan pekerjaan. Mau tidak mau manusia harus
mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi agar tidak digilas zaman dalam
dunia kerja.
Rekson juga menyoalkan sampai saat
ini, pekerja digital di Indonesia pada umumnya, seperti ojek online (Ojol) belum
mendapat jaminan pasti dalam hubungan kerja. Karena pihak perusahaan masih
menganggap mereka sebatas mitra kerja. Sehingga tidak mendapatkan upah seperti
layaknya pekerja formal dan jaminan sosial (BPJS Ketenagakerjaan dan
Kesehatan).
“Kalau kita melihat dibeberapa
negara, sebenarnya pemerintahnya sudah memberikan jaminan perlindungan kepada
pekerja digital melalui peraturan. Tapi perlindungan itu bukan semata dari
pemerintahnya saja, tapi karena memang ada inisiatif dari serikat buruhnya,”
ungkapnya.
Lanjutnya, kalau Indonesia membuat
undang-undang mungkin jalannya sangat panjang. Dimana harus ada keterlibatan
partisipasi publik mendorong pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU)
untuk pekerja digital.
“Kemudian harus disetujui dulu dalam agenda
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) lalu dibahas di DPR. Menurut saya membuat
undang-undangnya menghabiskan banyak waktu, sementara jumlah korban pekerja
digital ini banyak dan harus cepat dibantu,” ungkapnya.
Jadi ada 3 cara memberikan
perlindungan pekerja digital. Pertama harus ada campur tangan pemerintah. Kedua
serikat buruh harus melakukan gugatan di Pengadilan Negeri sampai ke Konstitusi
(MK). Sehingga nanti lahir acuan semua
perkara bagi pekerja digital. Ketiga harus ada dilakukan agenda sosial dialog
antara serikat buruh dengan perusahaan.
“Supaya pengusaha sadar bahwa pekerja
digital memang wajib dilindungi dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB),”
terangnya.
Rekson mengatakan langkah yang harus
dilakukan membela pekerja digital adalah melalui jalur hukum. Hal ini telah
berhasil seperti di negara Inggiris, Korea, Malaysia. Serikat buruh harus bisa
memilih kasus yang berpotensi untuk bahan gugatan di pengadilan. Sehingga,
ketika menang bisa memperoleh yurisprudensi dari Mahkamah Agung.
Ia juga optimis, melakukan sosial
dialog dengan perusahaan bisa merubah pola pikir pengusaha. Bahwa pekerja
digital seperti Ojol itu bukan sebatas mitra kerja. “Tapi mereka ini juga harus
mendapatka pengakuan dari perusahaan dan mendapatkan hak jaminan sosial,” jelasnya.
Transisi Yang Adil
Maria Emeninta dalam pemaparannya menyampaikan
serikat buruh harus bersikap kritis menyikapi perubahan iklim. Karena,
masyarakat dunia sekarang ini sedang dihadapkan ancaman kerusakan lingkungan. Persoalan
ini juga berdampak kepada ratusan juta pekerja yang terancam dan kehilangan
pekerjaan.
“Akibat ancaman perubahan iklim,
salah satunya mengancam 50 juta pekerja di sektor tambang akan kehilangan
pekerjaan. Tentu saja masalah ini harus menjadi perhatian serius, belum lagi
jenis pekerjaan di sektor transportasi, jasa dan lainnya,” ungkapnya.
Lalu apa yang harus dilakukan serikat buruh untuk
mengatasi ancaman tersebut? Ia menjelaskan harus ada dorongan untuk ke
pemerintah segera melakukan mitigasi pengurangan emisi. Walau disatu sisi, akan
berdampak pada pekerja. Seperti:
1. Hilangnya
pekerjaan
2. Menciptakan
pekerjaan baru terutama di daerah baru/pedalamanm
3. Cost
perlindungan sosial : lebih baik>< buruk>
4. Kesadaran
terhadap pentingnya kerja layak
5.
Penutupan
banyak perusahaan migas
6. Peningkatan
kualitas untuk pekerjaan alternatif/baru
7. Peningkatan
system outsourching
8.
Pengalihan
transportasi jalan raya ke Kereta Api
9.
Peralihan
minyak bumi ke alternatif tradisional
Sikap just transision (transisi yang adil) adalah
solusi tawaran keseimbangan bagi dunia industri dan lingkungan. Pada kongres
Konfedeerasi Serikat Buruh Internasiona (ITUC) tahun 2010 juga ikut mendukung
kampanye just transision. Lalu didukung
International Labour Organization (ILO) pada 2013 dan menjadi panduan sejak
tahun 2015.
Untuk mengkampanyekan just transision, maka diperlukan
strategi, seperti pemberian pelatihan dan peningkatan skil (oleh pemerintah dan
pengusaha), perlindungan sosial (antisipasi dan pasca kebijakan), ekonomi
mikro, terutama informal. Lalu akses prioritas pada mantan buruh terimbas
(pekerjaan lebih hijau).
“Terakhir akses terhadap informasi dan mengedepankan
agenda sosial dialog ke semua pihak,” tutupnya. (A1) Berita ini di ambil dari ksbsi.org dengan Judul : Ada 2 Isu Global
Yang Dibahas KSBSI Menjelang Agenda Internasional L20
Beri komentar