Dedi Hardianto Sekretaris Jenderal (Sekjen)
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan serikat buruhnya
tetap bersikap kritis atas disahkannya revisi UU PPP. Tapi KSBSI, punya pandangan
sendiri menyikapinya. Sebab, undang-undang ini sengaja di revisi karena
dilatarbelakangi penolakan serikat buruh atas lahirnya omnimbus law UU Nomor 11
Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Apalagi saat KSBSI bersama serikat pekerja/serikat
buruh lainnya melakukan judical review, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (MKRI) sudah tegas mengatakan omnibus law itu tidak dikenal di
Indonesia. Kemudian, Hakim MKRI memutuskan UU Cipta Kerja ‘Inkonstitusional Bersyarat’
dan harus diperbaiki oleh DPR secara bersyarat selama 2 tahun.
“Tapi yang kami sesalkan, ketika DPR ditugaskan untuk
merevisi UU Cipta Kerja, justru sebaliknya lebih mengutamakan revisi UU PPP.
Sehingga sangat sarat kepentingan politik untuk menyelamatkan UU Cipta Kerja
yang lagi bermasalah,” ucapnya di Kantor KSBSI, Cipinang Muara Jakarta Timur,
beberapa waktu lalu.
Dedi menegaskan, ketika DPR melakukan revisi UU PPP sebenarnya bukan
memberikan solusi. Justru bisa menambah masalah baru. KSBSI bisa saja nantinya
melawan UU PPP secara konstitusi, kalau terdapat pasal-pasal yang bertentangan
dengan UUD 1945. Jadi buruh tidak hanya
melakukan aksi demo saja.
Kemudian, terkait keputusan revisi UU Cipta Kerja yang
akan dikerjakan DPR, dia mengatakan pemerintah jangan memaksakan kluster
ketenagakerjaan masuk dalam undang-undang tersebut. Karena dari 11 kluster
dalam undang-undang ini, yang paling krusial itu memang masalah hak perburuhan.
Oleh sebab itu, dia menyarankan agar pemerintah harus
duduk bersama perwakilan serikat buruh/serikat pekerja untuk berdialog. Pemerintah
juga jangan menilai saat buruh menolak UU Cipta Kerja dianggap momok yang
menghambat investasi masuk ke Indonesia.
KSBSI sendiri tidak pernah menolak keseluruhan UU
Cipta Kerja dan anti investasi. Namun yang kami tolah dari undang-undang ini,
terdapat pasal yang mendegradasi hak buruh. Terutama kelangsungan buruh tetap
bekerja di perusahaan semakin tak ada kepastian untuk masa depannya.
“Kalau UU Cipta Kerja diciptakan hanya menimbulkan
kegaduhan politik saya pikir tak ada manfaatnya. Karena itulah, konsep dialog
sosial itu wajib dijalankan. Pemerintah harus mengajak perwakilan pengusaha dan
serikat buruh untuk duduk bersama mencari solusinya. Hal ini sesuai amanah UUD
1945 yang mengedepankan musyawarah dan mufakat untuk mencari solusinya,” tegas
Dedi.
Intinya, ia mengatakan tuntutan aktivis serikat buruh
sebenarnya sederhana. Hanya meminta mengeluarkan kluster ketenagakerjaan dari
UU Cipta Kerja. Sebab undang-undang ini awalnya memang inisiatif dari
pemerintah. Nah, kalau kluster ketenagakerjaan dicampuradukan ke dalam
undang-undang ini, justru menimbulkan kegaduhan politik.
“Kami hanya meminta kepada pemerintah untuk mengkaji
ulang UU Cipta Kerja, khususnya pada kluster ketenagkerjaan. Sebab, Hakim MK
sendiri sudah memutuskan undang-undang ini inkonstitusional bersyarat selama 2
tahun. Jadi masih ada waktu untuk memperbaikinya dengan membuat secara khusus
naskah akademik UU Ketenagakerjaan yang baru,” terangnya.
Dengan dibuatnya naskah akademik UU Ketenagakerjaan
yang baru, pemerintah, pengusaha dan serikat buruh bisa duduk berunding untuk
membuat aturan investasi yang bisa menguntungkan semua pihak. Jadi, harapan
KSBSI adalah saat pemerintah membuat UU Ketenagakerjaan itu jangan
menguntungkan pengusaha saja.
“Tapi keputusan yang dibuat adalah ‘jalan tengah’ yang
tidak merugikan semua pihak. Kalau semua diuntungkan maka dunia usaha berjalan
baik dan serikat buruh tumbuh besar di tiap perusahaan. Saya pikir masih ada waktu
untuk membuat undang-undang ketenagakerjaan yang baru,” jelasnya.
Sebagai catatan evaluasi, Dedi tak membantah bahwa
pasca disahkannya UU Cipta Kerja dan UU PPP, kondisi gerakan buruh belum solid,
karena memiliki sikap masing-masing. Hal tersebut wajar saja dalam dinamika demokrasi.
Karena tujuan semua serikat buruh hari masih tetap membela kepentingan buruh.
“Tapi saya yakin, pada waktunya nanti semua elemen
serikat buruh akan duduk bersama melakukan konsolidasi untuk memperkuat posisi
tawar gerakan buruh,” ucapnya.
“Saat ini gerakan KSBSI lebih mengedepankan dialog
sosial. Namun bukan berarti meninggalkan gerakan aksi demo, kalau ada kebijakan
pemerintah yang tidak memihak kepentingan buruh,” tutupnya. (AH)
Beri komentar